TB-38

90 5 0
                                    

Dissa memasukkan password rumahnya dengan semua pikiran yang berkelut mengelilinginya. Apartement yang dulu hanya berisikan dirinya kini tidak lagi. Ada Mamanya, Sereo, dan Romi. Mereka terlihat bahagia satu sama lain. dia merasa erlalu egois jika mementingkan dirinya sendiri untuk tidak melihat kenyataan yang ada. Atau justru dia sendiri yang tidak ingin orang lain bahagia karena dirinya terlalu kesepian beberapa tahun ini? Tapi yang jelas tidak ada alasan lain untuk menolak keinginan Mamanya yang ingin menikah lagi, mungkin saat ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan persetujuannya.

“Ohh, kau sudah pulang Dis?” Diana berdiri menyambutnya. “Kamu mau makan apa?”

“Ma!” Dissa membasahi bibirnya terlebih dahulu sebelum mulai berbicara. “Aku menyetujui rencana mama menikah sama om Romi.”
Semua orang di ruangan itu terkejut mendengarnya. Bahkan Sereo yang sedang meminum es buahnya tersedak biji selasih yang ada di dalamnya. Sementara Dissa justru berlalu meninggalkan mereka dengan keterkejutan masing-masing. Yang dia inginkan saat ini hanya berdiam di kamarnya sendiri. tidak ada lagi orang yang bisa menghiburnya saat ini. Semua teman yang sudah dia anggap sebagai temannya sendiri sengaja dia jauhi. Dia kembali sendiri lagi, menikmati masa-masa tanpa berbagi cerita dengan orang lain lagi. Ya , itu lebih baik untuk orang seperti dirinya.

“Heii!” Tanpa melirik pun dia tahu siapa yang masuk ke kamarnya saat ini. “Terimakasih.”

“Nggak ada yang gue lakuin, kenapa lo bilang makasih?” ujar Dissa dengan datar. Saat ini bukanlah moodnya untuk beramah-tamah dengan orang lain.

“Ternyata lo perlu refreshing dulu biar otak lo lebih encer dikit. Kapan-kapan deh gue ajak lo keluar.” Sereo menepuk bahunya. Setelah itu keadaan kembali hening lagi. Orang itu sudah keluar dari kamarnya.

Lagipula kenyataan bahwa setelah Mama dan Romi menikah dia akan tinggal di Paris sesuai dengan apa yang dia inginkan dari dulu. Bersekolah dijurusan desain interior yang dia inginkan. Tidak masalah jika harus terpisah negara sejauh itu, yang ada justru dia sangat menantikannya dari dulu. Namun, ketika mimpi itu tinggal sedikt lagi diraihnya, justru adabanyak hal yang tidak ingin dia tinggalkan di sini.

Memang hidup manusia penuh dengan hati yang terbolak-balik. Dulu kita bisa menginginkan sesuatu sampai-sampai ingin segera mencapainya, tapi ketika hal itu sudah dekat dengan kita justru perasaan bimbang muncul begitu saja. Merubah apa yang ingin dicapai sebelumnya.

***

Semuanya terasa begitu canggung ketika Dissa duduk di meja makan pagi itu. Dari mulai tatapan Mamanya sampai tatapan mata om Romi kepadanya seolah ada yang salah dengan dirinya. Bahkan ketika dia akan membuka selai coklat untuk olesan rotinya, Sereo mengambilnya dan membukakan tutup selai itu untuknya. Semuanya seperti menganggap dirinya orang asing. Dia membenci hal itu.

“Aku ada tugas banyak hari ini, jadi aku akan pergi sekarang.” Dissa berdiri dari duduknya sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya agar memperjelas bahwa dirinya tidak punya banyak waktu untuk melanjutkan acara sarapannya pagi ini.

“Tapi Sereo belum selesai makan Dis.”

“Nggak pa-pa, aku bisa pergi sendiri.”

Dissa menginggalkan ruangan itu begitu dia menyelesaikan kalimatnya. Seharusnya memang sejak awal dia tidak bergabung di acara makan pagi itu. Kini dia merasa seperti prang asing. Atau memang dia yang belum sepenuhnya ikhlas dengan apa yang telah dia pilih?

“Hanya ada satu hal yang bisa membuat kamu tersenyum.”
Dissa mengalihkan pandangannya, matanya menelusuri siapa yang berbicara saat ini.

“Lo nyari gue?”

“Frans! Nggagetin aja.” Dissa mengelus dadanya. “Gue kira lo marah sama gue.”

“Marah? Apa gue pernah marah sama lo?” Dissa berhenti berjalan, tubuhnya dia hadapankan pada sosok yang kini berada di depannya, hanya pembatas trotoar yang memisahkan mereka. “Ohhh, gue lupa kalau gue selalu marah sama lo.”

“Maaf,” kata selanjutnya yang terlontar dari bibir Frans.

“Bagaimana kalau kita bolos untuk hari ini? Sebagai permintaan maaf lo?” Dissa tersenyum dengan penuh kemenangan untuk saat ini.

“Okeyy. Ide yang bagus, gue udah lama juga nggak bolos.” Frans memakai kembali helm yang dia lepaskan tadi sebelum memanggil perempuan itu. “Naik.” Dissa hanya menatapnya sejenak, dia masih trauma dengan apa yang pernah dilakukan Frans padanya. “Tenang. Gue nggak bakal ngerjain lo kali ini.”
Hari itu Frans membawa Dissa berkeliling kota mereka yang penuh dengan keindahan yang tergambar disetiap sudut kota. Mereka menyaksikan berbagai aktivitas para penduduk yang tidak pernah mereka amati selama ini. Para pedagang, para sopir angkutan umum, bahkan setiap orang yang berlalu lalang tak lepas dari pandangan mereka. sudah lama juga Dissa tidak berkeliling kota seperti ini.

Frans menghentikan motornya pada deretan motor lain yang sudah terparkir rapi di tempat parkir. Mereka berhenti di pasar tradisional. Sebenarnya Dissa tidak mengetahui apa yang akan mereka lakukan di pasar itu.

“Lo pasti bingung kenapa gue ngajak lo ke sini. Tapi gue kira setelah ini lo pasti lebih suka ke tempat ini.”
Dissa mengamati setiap pedagang yang sedang bertransaksi dengan pembelinya. Baru kali ini dia menginjakkan kakinya ke pasar. Sedari kecil, Mamanya tidak pernah berbelanja ke pasar. Yang mereka lakukan hanya berbelanja di swalayan seperti penduduk perkotaan pada umumnya.

“Ehh!” Frans menarik Dissa ke arahnya. Jalanan pasar yang sempit membuat mereka tidak leluasa untuk berjalan berdampingan. “Lo harus lihat orang dari arah berlawanan!”

“Terimakasih. Lo jalan aja dulu.”

“Oke.”

Frans berjalan lebih dahulu. Dia mencari makanan tradisional seperti martabak kecil, agar-agar berbentuk ikan, macam-macam bubur, dan beberapa makanan tradisional lain yang Frans bisa tebak belum pernah dimakan oleh Dissa sebelumnya.

“Lo sering ke sini?” tanya Dissa sambil mengamati keadaan pasar. Ini adalah pertama kalinya dia tertarik dengan banyaknya orang-orang yang berlalu lalang.

“Jarang, mungkin kadang kalau gue lagi pengen makan makanan tradisional.”

“Lo tahu tempat ini dari siapa?”

“Dulu nenek gue sering ngajak gue ke sini. Beli beberapa bahan masakan di dapur. Gue kadang ikut, terus dibeliin kue-kue seperti ini. Jadi ... ya biasa gitu.” Frans menyodorkan satu cup bubur ketah hitam kepadanya. Kuah santan yang tadi terpisah sudah dicampurkan Frans menjadi satu.

“Terimakasih.” Dissa mencicip sedikit kuah bubur ketan hitam itu. “Emmm, gue nggak tahu kalau ngamatin mereka bisa semenarik ini.”

“Itu karena lo nggak pernah ada di sini. Lo harusnya belajar banyak sama mereka.”

“Kenapa?”

“Karena mereka masih bisa tersenyum meski kehidupan perekonomiannya tidak setinggi orang-orang kota lainnya. Coba lo liat pekerja buruh angkut itu. Mereka disuruh mengangkut barang-barang yang berat dan banyak, tapi bayaran mereka nggak seberapa.”

“Lo tahu darimana?”

“Hahaha!” tawa lepas muncul begitu saja dari mulut Frans. Dia tidak menyangka Dissa yang berada di sampingnya ini belum pernah belajar apa-apa dari dunia luar.

“Nggak ada yang lucu Frans. Justru yang lucu itu lo kalau lagi ketawa ngakak nggak jelas gini.”

“Sorry-sorry. Gue cuma reflek aja. Lagipula seharusnya lo tahu sendiri dari apa yang lo amati dan lo pelajari dalam dunia ppkn.”

“Gue anak mipa.”

“Emang anak mipa cuma belajar matematika sama peminatan ipa doang? Lo salah besar deh. Justru ilmu-ilmu kayak gitu yang dikembangin buat mempermudah apa yang bisa kita simpulin dari hidup ini.”

Frans menghabiskan satu buah kue keranjang yang dia pegang. Perjalanan selajutnya mereka memutuskan untuk menonton film bertema petualangan. Kali ini, untuk pertama kalinya Dissa benar-benar membolos di masa SMA-nya. Dan orang yang berada di sampingnya adalah Frans-lelaki yang memiliki sejuta pesona dari awal pertemuan mereka.

"Lo emang pinter Frans," gumam Dissa dengan lirih sambil mengamati Frans. Laki-laki yang penuh kejutan baginya.

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang