Bab 10

22 1 0
                                    

" Lanjutan... (Sahabat Tetaplah Sahabat) "

"Nih!" Rania menyerahkan handphone nya.

Aku bingung, kenapa Rania memberikan benda berbentuk segi empat itu?

"Apa?" suara ku melemah.

"Baca aja!" suruh Rania.

Di layar handphone nya tertera nama Rendrata.

Rania memperlihatkan chatting-an nya dengan Rendrata.

Rendrata : "Ran, pulang sekarang yuk!"

Rania : "Sorry Ren, aku pulang bareng Ayyara aja yaa.. Boleh kan?"

Rendrata : " Yaudah gapapa, ati-ati ya Ran. Nanti aku sama Sandio aja. Bye"

Aku tak kuat menahan air yang terus memaksa untuk terjun bebas. Tak peduli orang memandang apa. Aku peluk Rania erat.

"Ran, maafin aku ya!" ucapku pelan disebelah telinga Rania.

"Aku yang minta maaf, Ayy!" sambung Rania.

Aku merasa sangat bersalah. Betapa kejamnya aku karena sudah memarahi sahabatku hanya karena hal kecil seperti tadi.

Ku lepas perlahan pelukan Rania. Rasa bersalahku semakin berlipat ganda ketika aku melihat wajah Rania memerah dengan dipenuhi basahnya air mata yang turun dari matanya yang bulat.

Aku dan Rania bertatap lama. Lalu tertawa melepas rasa kesedihan.

"Hahahahahah"

Kami tertawa seolah lupa akan kesedihan kami setelah berantem tadi. Dari dulu, memang kebiasaan kami adalah ketawa setelah berantem, padahal tak ada yang lucu sedikitpun.

"Kita itu, apaan sih. So berantem gini"

"Apaan sih aneh banget. Lebay tau gak!

"Reseh, banget sih ni mataa.  pake nangis segala!"

"Freak banget si!"

Huh, begitulah omongan gak jelas aku dan Rania setelah berantem. Gak pernah berubah rutinitas kami sedari dulu.

Sekitar tujuh menit, kami berdiri sambil menangis tersedu-sedu. Untungnya angkot bernomor 010 pun tiba bersamaan dengan sang senja.

"Yuk, pulang!"

Saat di angkot..

"Lo harus nginep di rumah gue. Titik!" ucap Rania memecah kesunyian antara kami.

"Yaudah, kita turun di rumah gue. Tar ke rumah lo nya jalan aja. Titik!"

"Ahahhahahahahah"

Kami tertawa entah apa yang lucu dan mulut ini selalu ingin memperlihatkan rasa senangnya.

"-Sahabat adalah air yang menyejukan, tanah tempat kita berdiri, udara yang selalu tersedia, dan cahaya yang menghangatkan-"
(diambil dari cerita ke-2 ku "Dayna & Nidha" hehe)
.
.
Tiba dirumah. Mama tengah sibuk di meja makan dengan Bi Tina untuk menyiapkan makan malam. Aku meminta izin untuk tidur di rumah Rania malam ini. Aku yakin Mama pasti memberikan izin.

"Assalamu'alaikum." teriaku dan Rania.

"Eh Ran, muka ku udah gak merah lagi kan?" tanyaku pada Rania berbisik.

"Enggak. Aku?" tanyanya balik.

"Enggak kok"

"Sip!" Rania mengangkat jempolnya.

"Wa'alaikumussalam." jawab Mama dan Bi Tina.

"Ma, aku nginep di rumahnya Rania ya malem ini. Boleh kan?" izin ku pada Mama.

Mama menarik napas. Matanya berkedip pelan.

"Iya, boleh. Asalkan, kalian makan malemnya disini ya." syarat Mama agar bisa mengizinkan aku menginap di rumah nya Rania.

"Iya Ma, nanti Rania WhatsApp Mama deh kalo Rania pulangnya ke rumah Ayyara" jawab Rania.

"Yaudah, kalian mandi aja dulu gih. Trus istirahat, pasti capek bangetkan?" perintah Mama ada benarnya juga. Setelah seharian melewati rentetan peristiwa hari ini memang cukup melelahkan.

"Iya, Ma" sambung aku dan Rania.
.
.
Aku dan Rania memasuki kamar ku. Kami berusaha menarik napas kekuat-kuatnya. Mencoba melegakan hati yang cukup sesak kekurangan oksigen.

"Ran, gue bener-bener minta maaf ya. Tadi gue kelepasan. Cuma gara-gara gue pengen di mengerti, gue nyakitin sahabat gue sendiri, gue egois!" jelasku, memohon pada Rania sambil merekatkan kedua telapak tanganku.

"Ayy, sebenernya gue yang salah. Gue udah lupa diri. Mentang-mentang udah punya pacar, gue malah ngelupain sahabat gue. Gue minta maaf juga ya, Ayy!" Rania memohon juga.

"Lo gak beneran marah sama gue kan Ran?" tanya ku memastikan.

"Justru gue yang takut lo marah ke gue. Karena selama ini, lo yang banyak ngalah ke gue, Ayy"

"Gue gak pernah bisa marah sama lo, Ran! Gue tadi cuma kesel aja. Lo sahabat gue dan gue gak akan pernah bisa marah sama lo."

"Gue juga tadi gak beneran kok marahnya. Karena menurut gue marahnya sahabat itu suatu perhatian yang lebih. Makasih ya Ayy" Rania memeluk erat tubuh ku. Air matanya menetes tepat di bahu kanan ku.

"Lo gak usah nangis lagi deh, Ran!  Gue kan jadi sedih juga" tak kuat melihat Rania dengan wajah basahnya, tiba-tiba dua aliran air jatuh di pipiku.

Dengan suara lemas namun kompak, kami bertatap mata dan...

"Ayran? friendship is loyalty forever, ea"

"-Jangan hanya ingin dimengerti, jika kamu sendiri masih egois. Tak selamanya kamu benar. Dan tak selamanya orang lain salah-"

Yaa, jargon andalan kami.

"Makasih ya, Ran. Udah jadi sahabat gue selama tujuh belas taun ini. Gue bangga punya sahabat kaya lo!" ucapku sambil menepuk halus punggung Rania.

"Sama-sama, Ayy. Gue juga seneng banget punya sahabat yang baiknya super banget" jawab Rania dengan suara sedikit serak.

"-Persahabatan takkan pernah memandang seberapa banyak kesalahan yang diperbuat oleh salahsatunya. Tapi, sedikit senyuman saja sudah cukup mengeratkan hati yang rapuh-"
.
.

"Gue mandi dulu ya, Ran. Apa mau lo dulu?"

"Lo duluan deh, Ayy!"

"Oke!"

Air dengan sejuknya melumuri tubuhku. Segarnya seolah membantu membuang rasa letih seharian.

Tiga belas menit kemudian..

" Yo Ran, mandi. Bau tuh!" suruhku pada Rania yang sedang membaringkan tubuhnya di kasur.

"Oh, udah. Siap!" Rania beranjak dan bayangannya menghilang saat ia menutup pintu kamar mandi.

Syukurlah hubunganku dan Rania kembali membaik.

.
.
.
Hi guys! Thank's banget ya buat yang selalu baca. And sorry masih selalu banyak salahnya. Jangan lupa vote dan aku mau tau dong pendapat kalian mengenai cerita aku ini, di isi yaaa commentnya😘
See you🙋🌈

SENJA SENDU KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang