Bab 19

6 0 0
                                    

" Minggu "

Hari semakin memudarkan kecerahan seusai pernyataan sahabat itu, Aku, Sandio, dan Rendrata memutuskan untuk pamit pada Rania.

Ditengah perjalanan, motor Sandio dan Rendrata memisah berlawanan jalan, tentu saja karena rumah mereka berbeda arah. Tak ada percakapan disana, aku hanya diam menikmati sejuknya angin yang menerpa disepanjang jalan. Seperti biasa Sandio yang selalu memulai.

"Besok aku ke rumah kamu jam 6an yaa, jangan kesiangan!" perintah Sandio.

"Iya iya" jawab ku singkat.

"Mau makan dulu ga di depan?" tanya Sandio.

"Dimana? Udah malem, Mama udah nelpon terus nii!" jawabku lagi.

"Yaudah oke, kamu bilangkan kalo lagi sama aku?" tanyanya lagi.

"Iya bilang, kenapa gitu?"

"Ngga, kan setidaknya Mama kamu bakalan tenang kalo kamu sama aku, hahaha" ujar Sandio terkekeh. Lelaki itu memang selalu saja membuat geli perutku dengan gombalannya yang receh itu.

"PD banget!" cerca ku.

"Iya lah" jawabnya tak mau kalah.

Langit sudah menampakan butir- butir cahaya bintangnya. Jalanan sepi, pohon terlihat tak sehijau saat siang, depan rumah ku tersisa aku dan Sandio. Saja.

Mama membuka gerbang yang semula terkunci, aku melepas helm yang terpasang di kepalaku dan menyerahkannya pada Sandio. Sedang Sandio ikut turun dan mencium tangan Mama setelah aku.

"Ma, maafin ya Ayyara nya malah pulang malem. Tadi abis dari rumahnya Rania dulu." ucap Sandio pada Mama.

"Iya gapapa, tadi Ayyara juga udah bilang. Tapi lain kali kalo bisa sebelum Isya udah ada di rumah ya. Maklum kalo punya anak perempuan itu suka khawatirnya lebih gitu.." nasehat Mama.

"Iya Ma siap" jawab Sandio sambil tersenyum.

"Iya, yuk masuk dulu" ajak mama. Disini aku memang selalu jarang membuka suara, haha..

"Iya Ma, lain kali aja ya, udah malem juga. Oiya Ma, besok Dio mau cfd sama Ayyara boleh ga Ma? Ada Rania sama Rendrata juga.." ujar Sandio lagi.

"Iya boleh, Dio. Hati-hati aja ya!" singkat Mama.

"Yaudah Ma, Dio pamit dulu ya Ma" pamit Sandio.

"Iya hati-hati" ucap Mama.

"Assalamu'alaikum" Sandio menyalakan motornya lalu tersenyum dan berlalu.

"Wa'alaikumussalam" jawabku dan Mama.
.
.
.
Angin pagi membangunkan mimpi ku, menyuruh untuk bangkit beranjak dari kuatnya magnet tempat dimana aku membaringkan tubuh semalaman.

Pukul 06.00, Sandio sudah siap berdiri tegap berada di depan gerbang rumahku. Setelah itu, berpamitan dan melangkahkan kaki menuju alun-alun kota.

Aku dan Sandio berjalan tanpa kendaraan menelusuri jalanan yang cukup ramai juga orang berlalu lalang tidak sesepi hari lalu.

Rania dan Rendrata ternyata sudah datang lebih awal, mereka tengah duduk manis di bangku taman sambil tertawa ria dan entah apa yang mereka perbincangkan.

"Hey, pagi amat Ran! Berangkat jamber nih?" tanya ku menghampiri kedua orang yang tengah menduduki bangku bercat coklat itu.

"Jam segini tu udah siang kali, matahari udah bersinar dengan terangnya, orang-orang sudah memulai aktivitasnya, abang-abang bubur ayam sudah mangkal pada tempatnya dan mbak-mbak seblak sudah menyalakan api untuk menghidangkan seblak spesial untuk pelanggannya. Ini kah namanya pagi amat Ibu Ayyara? Hah?" jelas Rania sambil memperagakan tangannya. Gadis setengah gila ini memang tak tahu tempat, bisanya membuat perhatian orang tertuju padanya saja, tapi dia acuh tak acuh terhadap orang yang meliriknya kesal. Hah! Kebal sekali dia!

"Suutt, brisik banget sih! Gue nanya A malah dijawab A sampe Z!" cercaku pada Rania.

"Abis kesel!! Ya gak Regan? Janjian tuh setengah 7, ini udah jam 7 lewat 13!" ujar Rania lagi. Pacarnya hanya tersenyum memandangi gadis ini.

"Udah-udah, kalian ini kaya tom and jerry aja! Ribut terus. Yuk makan!" sambar Sandio memotong perdebatanku dengan Rania.

"Tuh abang-abang udeh nungguin kita, yuk makan jangan php, karena di php in itu sakit broh!" ucap Rendrata, Gilaa!!! Ternyata lelaki ini sama bucinnya dengan Rania.

"Bucin setan!" ejek Sandio pada pacar sahabatku ini.

"Ati-ati Ayy,  si Dio ini ni yah, gilaaa deretan mantan-mantannya udeh gak ke itung!" kata Rendrata mencoba memanasi telinga Sandio.

"Sorry! Mereka tak seindah Ayyara!" sambung Sandio sambil terkekeh.

Aaa gila tuh bocah!!! Gombalnyaaa minta ampun!.

Perutku geli menahan tawa, inginku berteriak tapi malu, haha agak jijik juga dengan apa yang di ucapkan oleh Sandio itu.

"Apaan si! Udah-udah yuk makan!" ujarku.

"Ibu negara sudah lapar nih kawan-kawan!" Sandio mencoba mengejekku dengan hal-hal yang menggelikan, dasar menyebalkan!

"He Dio, gini-gini juga Ayyara tuh kalo makan gak cukup kalo cuma satu piring, yaa minimal dua piring lah, belum lagi ngemil!" Rania juga, membuat kesal saja.

"Iya tah? Yaudah nanti gue pesenin 3 mangkok deh, biar dia gendutan dikit. Kan lucu! Ya gak?" tambah Sandio.

"Heh, kalian tuh mau makan gak sih!?" tanyaku kesal, mendapati kelakuan tiga orang yang ku sebut sahabat ini semakin menjadi.

"Iya iya ayo!" sambung Sandio.

Ketika Aku, Rania, Sandio, dan Rendrata melangkahkan kaki menuju tempat makan, mataku mendapati sosok Nandy yang tengah berdiri memperhatikan ke arah dimana kami berada. Pikiran ku takut jika Nandy berani menghampiriku. Aaahh sudahlah mungkin ini aku saja yang terlalu percaya diri. Lagipula buat apa memikirkan apa yang sedang tidak aku inginkan. Beruntung ada bubur Mang Asep, sehingga mataku tak was-was melirik ke arah Nandy lagi.

"Hey, kenapa? Kok bengong?" tanya Sandio. Mungkin dia tau bahwa aku sedang ke arah lain.

"Oh nggak" jawabku sambil tersenyum, sebagai tanda bahwa tak terjadi apa-apa saat ini.

"Kalian duluan aja!" perintah Sandio pada Rania dan Rendrata.

"Oh oke!" jawab Rania.

Sandio memang pengertian, dia selalu saja tahu bagaimana cara menghadapi sesuatu yang tak seperti biasanya.

"Kenapa?" tanya Sandio kedua kalinya.

"Nggak kok, gak ada apa-apa?" singkatku.

"Jujur Ayy!" ucapnya pelan.

Aku menghela berat. Menguatkan diri untuk berterus terang tentang apa yang terjadi pada lelaki di hadapan ku ini. Yah, aku harus jujur!

"Jadi, Nandy pernah nembak aku. Tapi!! Udah aku tolak." ucapku pelan.

"Ohh, bentar-bentar, Nandy itu anak sastra kan, yang katanya sih culun gitu, bener gak sih?" tanya Sandio lagi.

"Iya"

"Ohh, terus kenapa kamu gak nerima dia?"

"Yaa aku sih, kalo emang gak suka ya nggak!"

"Iya iya, terus kenapa?"

"Dia tetep ngejar aku. Yaa karena itu aku jadi tambah ilfil sama dia. Gitu!" jelas ku.

" Terus tadi kenapa bengong? Kayak lagi khawatir gitu?"

"Tadi kayak ada Nandy, trus dia kayak merhatiin gitu ke kita!"

"Tenang Ayy, aku bakal lindungin kamu kok!" ucap Sandio sedikit menenangkan.

"Iya makasih!"

"Yaudah, yuk makan! Perutku udah konser nih, ricuh banget" ujar Sandio sambil terkekeh. Dia memang selalu bisa mencairkan suasana.

"Iii apaan si" respon ku sedikit geli.

"Udah-udah yuk!!"
.
.
.
To be continue😘🙋

SENJA SENDU KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang