" Sahabat "
Setelah senja kemarin ku lewati bersama Rania. Kali ini aku merasa bagai sayur tanpa garam. Hidup tanpa sahabat memang terasa hambar. Bangku sebelah ku kosong tak terisi dan tak ada perbincangan langsung dengan Rania, gadis gila berhati sutra.
Pulang ini ku niatkan untuk menjenguk Rania. Alah! jam menunjukan pukul Setengah 5 tapi angkot tak kunjung tiba juga. Bisa-bisa kemaghriban dijalan..
Seperti terdengar remang-remang suara motor yang menghampiri. Benar saja saat menggerakan kepala, ku dapati dua motor dengan orang yang duduk diatasnya. Dia adalah Sandio dan Rendrata.
"Mau ke rumah Rania kan?" tanya Sandio.
"Iya, kenapa?" tanya ku.
"Gue ikut ya, Ayy! Sekalian mau jelasin soal kemaren!" Rendrata menyelipkan diri dalam perbincanganku dan Sandio.
"Lo duluan aja Ren, gue nunggu angkot dulu!" ujarku.
"Yuk aku anterin!" sambar Sandio.
"Tuh Ayy, bareng Dio aja daripada lo kelamaan" saran Rendra.
"Yuk!" ajak Sandio.
Yasudahlah, karena tidak ada angkot yang lewat. Akhirnya ku duduk dibelakang Sandio menuju rumah Rania.
.
.
.
Setiba di rumah Rania."Assalamualaikum.. Ran" ucap ku.
"Wa'alaikumussalam.." suaranya melemah. Seperti sudah semangat diatas tiba-tiba turun begitu bawah, apalagi tatapannya terhadap Rendrata yang terlihat malas.
"Lo masih sakit?" tanyaku berusaha mencairkan suasana.
"Mendingan, yuk masuk!" suara Rania pelan.
Suasana hening, Rania dan Rendrata hanya menunduk satu sama lain. Tak ada suara selain kebisingan diluar rumah. Sandio, pahlawan kesiangan mencoba membuka suara.
"Eh, rumah lo ada sepeda dua gak?" tanya Sandio.
"Ada, kenapa?" Rania bingung dengan sikap Sandio yang tiba-tiba menanyakan sesuatu yang jarang dilakukan oleh seorang tamu.
"Gue sama Ayyara pinjam ya, biasa olahraga sore.. Biar sehat" ujar Sandio.
Mata ku terbuka sempurna. What??? pernyataan macam apa ini! Tak ada kesepakatan apapun. Well! Aku tau maksud Sandio yang ingin membiarkan Rania dan Rendrata berbicara empat mata mengenai masalah mereka.
Dio, Dio.. Bisa juga dia, haha!"Oh, ambil aja di garasi. Tuh Ayyara tau!" ucap Rania lagi.
"Oiya, Mama Papa lo mana,Ran?" tanyaku sambil menengok kanan kiri dan rumah terlihat sepi tidak seperti biasanya.
"Mereka kondangan, biasalah paling pulang malem" jawab Rania.
"Yaudah, yuk Ayy!" Sandio menarik tanganku dan beranjak mengambil sepeda.
"Eu,, Ran, Ren, gue sama Dio pergi dulu ya!"
"Iyy,, iyaa ati-ati Ayy!" sambung Rania dengan suara lemas.
.
.
.
Jalanan tak sesepi saat-saat kemarin. Tersisa seorang lelaki dan perempuan yang tengah mengayuh pedal. Mungkin ini senja yang sendu bagi Rania, tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku harus membuatnya tersenyum, ya senyuman yang terpancar dari wajah Rania.Aku melamun sepanjang perjalanan, ditemani awan jingga yang perlahan menggelap. Tiba-tiba beberapa suara terlontar dari mulut Sandio.
"Hey!"
"Ngelamun aja!"
"Ayyara" suara nya memanggil berkali-kali.
"Oh, nggak. Ya apa?" respon ku tak banyak.
"Di ujung sana, ada tukang bakso. Yuk makan!" ajaknya.
"Oh, boleh!" aku mengiyakan tawaran Sandio karena jujur saja perutku dari tadi sudah konser, haha.
Waktu menunjukan pukul 17.45, yaa maghrib akan segera tiba. Aku dan Sandio memuntuskan untuk meninggalkan tempat dimana kami menyantap semangkok bakso dibawah rindang nya pohon, ditengah senja yang dingin. Eits, semangkok itu masing-masing yaa, bukan barengan! haha..
Jalanan mulai tak menampakkan adanya kehidupan manusia, sepi. Jumlahnya pun dapat dihitung dengan jari.
Saat ditengah perjalanan, tiba-tiba setetes air langit jatuh menyentuh punggung tangan kananku. And, yup! Hujan mulai merendah. Aku dan Sandio berusaha menambah kecepatan mengayuh pedal sepeda. Beruntung hujan jatuh tak begitu deras.
Setiba di rumah Rania...
Tubuh ku gemetar, tangan ku ragu untuk membuka pintu. Jantungku bekerja lebih cepat daripada biasanya. Pikiran mengenai hal-hal yang tak diinginkan menyelimuti kepalaku.
Bagaimana jika Rania malah tambah berantem dengan Rendrata? Bagaimana jika hal yang tak diinginkan terjadi pada Rania? Bagaimana? Bagaimana? Dan Bagaimana? Aaaa pikiranku mulai kacau, tak karuan.
Untuk melangkahkan kaki saja rasanya kaku dan berat, apalagi melihat apa yang akan terjadi pada Rania nanti dengan mata kepala ku sendiri. Tapi, Sandio berbisik lembut, menepuk halus pundak ku, "semuanya baik-baik saja". Entah kenapa keberanianku naik dengan cepat.
Kreeekk...
Pintu terbuka perlahan, semua pertanyaanku terjawab sudah. Huhh,, Syukurlaaahh...
Rania sudah mulai berani menggerakkan bibir imutnya untuk tersenyum, wajahnya yang semula murung mulai terlihat lebih segar tak pucat, dan pipinya sudah kering tak nampak adanya dua aliran air mata. Itu tandanya mereka sudah baikan, Yaa mereka, Rania dan Rendrata.
Aku menghela lega. Pikiran negatif seketika hilang secepat kilat. Aku dan Sandio mengadu kepalan tangan. Yass! Misi kita berhasil!
"Makasih ya Ayy! Lo juga Dio!" ucap Rania sambil terus memperlihatkan senyum manisnya.
"Heueum!" singkatku mengedipkan satu mataku pada Rania.
"Thanks bro! Ayy!" ucap Sandio sembari menepuk pundak Sandio.
"Gimana kalo minggu depan kita cfd?" saran Sandio.
"Boleh! Iyaa boleh!" jawab Rania dan Rendra bergantian.
"Gimana nih ibu negara?" Sandio melirik memojokan aku.
"Udah iya aja deh Ayy!" sahut Rania. Anak itu selalu saja merebut hak ku untuk berbicara. Tapi, yasudahlah..
"Yaudah iya, kasian sama dedek Rania nya!" cercaku pada Rania.
"Iii apaan si!" jawab Rania jutek.
"Okee! Mulai sekarang kita sahabat!" ucap Rania mengikuti gaya Bapak Ir. Soekarno yang membacakan teks Proklamasi. Aduhh, gadis ini memang ada-ada saja.
.
.
.
To be continued
Penasaran gakk! Yuk terusin! 🙋jangan lupa vote & comment😹