Athalea mengubrak – abrik isi kantongnya dengan gerakan terburu – buru. Sialan! Kecerobohannya selalu membuatnya berada di ‘situasi berbahaya’. Kali ini, buku catatan sejarahnya tertinggal ketika ia sudah menaiki angkutan umum dan sebentar lagi akan sampai di sekolahnya.Athalea menggigit bibir bawahnya karena bayang – bayang guru sejarah yang terkenal baik tapi galak itu muncul di kepalanya. Aduh... belum apa – apa aja udah begini. Guru killer nan cantik itu memang sudah menyuruh murid – muridnya untuk menulis; ‘bagaimana pesebaran manusia modern di dunia’, yang memang akan mereka pelajari hari ini. Athalea sudah mengerjakannya—maksudnya, menyalinnya, karena ia melihat hasil kerja temannya—semalam, dan sialnya, tugas yang sudah ia tulis dua lembar penuh itu ketinggalan.
Karena terlalu sibuk mencari buku sakti itu, Athalea tidak sengaja menyenggol ibu – ibu dengan badan yang besar dan menghabiskan bagian orang lain di angkutan umum itu dengan sedikit keras. Ya amplop!
Athalea melirik wanita gemuk di sampingnya dengan takut – takut. Alamak! Wanita itu mendelik tajam ke arahnya.“Maaf, Bu. Saya enggak sengaja,” ucapnya dengan senyum polos—senyum ampuh yang akan meluluhkan hati sang mama ketika ia tidak mau disuruh membeli sesuatu ke warung dengan alasan panas.
Ah elah, Cuma kesenggol dikit doang. Delekannya gitu amat, batin Athalea tidak terima.
Ibu itu hanya menatapnya seakan ia adalah orang teraneh yang harus dibumihanguskan dari tempat itu sekarang juga, hingga akhirnya mengalihkan pandangannya untuk menatap jendela.Athalea mendesah lega. Untung gak kena gibeng.
“Pak, kiri, Pak!” seru Athalea pada sopir angkutan umum itu ketika melihat bahwa angkutan yang ia naiki sudah lewat gerbang utama. Athalea kesusahan keluar dari kendaraan itu. Selalu saja. Karena angkutan umum ini penuh, dan tidak ada seorangpun yang memberinya jalan keluar, ia akhirnya harus ‘memaksakan’ diri untuk keluar. Ia bahkan tidak peduli ketika harus menginjak kaki anak kecil yang langsung merengek pada ibunya karena injakan Athalea yang tidak pandang bulu.
Salah sendiri gak mau geser, ucap Athalea dalam hati.***
Gadis dengan rambut panjang yang ia ikat menjadi kuncir kuda itu berlari untuk menyeberang jalan, menuju gerbang kedua yang berada beberapa meter setelah gerbang utama. Biasanya, anak – anak kelas dua belas yang melewati gerbang ini, karena memang gerbang ini langsung menuju arah kelas mereka.
Athalea berjalan dengan cepat menuju kelasnya yang berada di belakang ruang UKS. Kelas XI Sosial 1. Terlebih dahulu, ia melepas sepatunya dan menyimpannya pada rak hijau yang ada di samping pintu—memang murid – murid sekolahnya membuka sepatunya ketika di kelas, oleh karena itu pihak sekolah menyediakan rak sepatu besar.
Keadaan kelas sudah ramai dengan berbagai macam mahluk yang ‘masih ingin diam di kasur tapi karena tuntutan pendidikan, mereka harus ke sekolah’, sebagian besar adalah murid – murid ‘pejuang tugas’, mereka sibuk menyalin tugas hari ini pada teman sebangkunya.
Astaga! Athalea juga belum mengerjakannya. Ia buru – buru menghampiri tempat duduknya.Kedua dari belakang, dekat dengan tembok. Perfect! Berbeda dengan bangku yang paling belakang, tempat bulan – bulanan guru, karena kebanyakan guru beranggapan bahwa murid yang duduk paling belakang tidak pernah memerhatikan pelajaran.
Kalau bangku miliknya, tempat itu tidak terlalu diperhatikan oleh guru, karena terhalang oleh bangku – bangku lain. Jadi, Athalea bebas ‘melakukan’ apapun ketika ia malas memerhatikan guru. Terlebih, bangku itu memang sudah menjadi hak milik-nya dan teman sebangkunya—yang kini sedang memakai headset dengan tatapan fokus ke layar hp-nya. Tidak usah ditanya lagi, pasti drakor.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Simple Life
Teen FictionIni tentang kisah kehidupan sederhana Athalea Zefanny. Tidak ada kata 'ribet' dalam hidupnya. Hanya kehidupan sederhana. Tapi, ayolah, memang kehidupanmu akan selalu berjalan seperti itu, Athalea? Tidak. Karena faktanya, kehidupan itu rumit. Begitu...