Satu dari sekian banyak hal yang tidak disukai Athalea Zefanny adalah menunggu. Pertama, Athalea tidak suka dengan kelakuan sang mama yang akan menyuruhnya asal – asalan tanpa tahu situasi—pernah sang mama menyuruhnya mengangkat jemuran baju adiknya ketika Athalea saja baru selesai mandi, gak tau situasi banget, ‘kan? Masa iya gue harus ngangkat jemuran pake handuk doang? Lalu, Athalea tidak suka dengan adiknya, Zefan Thalleo. Adiknya yang selalu saja memukulnya padahal Athalea tidak salah—hmm, sedikit jahil sih, Athalea kadang sering mengacak – acak rambut adiknya—satu – satunya hal yang tidak disukai Zefan dan menjadi kesukaan Athalea. Dan adiknya akan berkata; ‘diem, nanti aku gak ganteng lagi’—dan alhasil, acara tinju dadakan pun terjadi, itu yang kedua.
Nah, yang terakhir. Iya, menunggu.
Seperti sekarang, karena ia harus piket kelas—gak bisa disebut piket juga, orang gue cuma megang sapunya aja, hehe—dan pulang sedikit terlambat, ia harus menunggu angkutan umum yang akan melalui rumahnya itu kembali datang.
“Neng, naik angkot apa?” tanya salah satu tukang becak yang memakai topi yang—wait, itu kantong kresek?—ada di kepalanya.
Athalea menyebutkan angkutan umum yang akan menuju ke arah rumahnya dengan nada ketus. Bagaimana tidak kesal? Ia sudah menunggu hampir setengah jam dan angkutan itu belum datang juga.
Kalau biasanya—biasanya, lho—di novel – novel yang selalu Athalea baca, jika perempuan menunggu jemputan yang tak kunjung ada, maka dengan tiba – tiba akan ada motor cowok yang dia suka lewat di depannya dan mengantarnya pulang.Hadehhh. Plis deh, mak. Ini realita bukan novel fiksi, batin Athalea begitu pikirannya ‘sedikit melenceng’. Ia memang berharap imajinasi itu akan terjadi sekarang. Sekarang, saat kakinya sudah pegal dan tangannya seperti akan ‘potong’ karena membawa beberapa buku yang tidak cukup di tasnya—eh, amit – amit, jangan sampe potong. Atha bercanda, Tuhan.
Athalea memanyunkan bibirnya ketika angkutan umum yang ia tunggu tidak datang juga. Nah kan, sekarang Athalea kembali berharap akan ada seseorang yang menjemputnya. Aduh, Tha, itu cuma di novel doan—
“Tha, mau bareng gak?”
—g, kan?
Athalea hampir menganga lebar ketika melihat Allan memberhentikan motornya persis di depannya. Iya, seperti yang ada di novel fiksi yang Athalea baca. Ya amplop!
“Tha, ayo. Pulangnya bareng gue aja,” ujar Allan si cowok manis berkulit sedikit coklat dengan wajah mulus—lebih mulus dari wajah Athalea yang sekarang sedang berminyak dan ada satu jerawat di hidung. Satu, lho ya.
Athalea mengerjapkan matanya sekali lagi. Ia tidak salah lihat, ‘kan?
“Eh, lo—lo ngapain disini?” gagap Athalea dengan salah tingkah. Iyalah, orang tadi gue udah nolak pulang bareng dia. Mamakkk, Atha malu!
“Kalo gue bilang, gue nunggu lo daritadi gimana?” Bukannya menjawab, Allan justru balik bertanya pada Athalea.
“Dih, serem amat, Pak. Jangan – jangan lo secret admirer gue, ya? Ah elah gak ada kerjaan banget sih lo. Mending nyari kutu kucing daripada nungguin gue.” Lah gila! Lo ngomong apa, Tha?
Allan tertawa melihat tingkah Athalea dan ucapannya yang ngawur.
“Udah, ayo. Udah sore lagian,” ajak Allan. Athalea semakin bingung, antara nolak tapi harus menunggu ‘si sopir kesayangan’ atau ikut dengan Allan tapi harus menahan malu karena tadi ia sudah menolaknya. Dan sang mama... alamak! Sampe lupa gue sama tuh macan betina!“Soal mama kamu, nanti aku yang bilang,” jawab Allan seolah tahu apa yang dipikirkan Athalea. Apa wajahnya segitu polos sehingga Allan bisa membaca ekspresinya? Eh eh, apaan kok jadi aku-kamu?
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Simple Life
Teen FictionIni tentang kisah kehidupan sederhana Athalea Zefanny. Tidak ada kata 'ribet' dalam hidupnya. Hanya kehidupan sederhana. Tapi, ayolah, memang kehidupanmu akan selalu berjalan seperti itu, Athalea? Tidak. Karena faktanya, kehidupan itu rumit. Begitu...