Athalea berubah. Itu yang Allan rasakan selama satu minggu ini. Memang, mereka masih bertukar pesan dan pergi ke sekolah bersama, tapi itu tidak dapat menjamin jika Athalea menjaga jarak darinya. Allan merasa ia tidak melakukan salah yang membuat Athalea marah besar padanya—kecuali saat mereka di kantin dan berdebat satu minggu yang lalu.
Apa mungkin karena itu? Atau—
“Woy, Lan!” Allan menghentikan lamunannya dan menatap lelaki yang tadi memanggil namanya. Menangkat salah satu alisnya, Allan tidak mengeluarkan sepatah katapun.
“Ditunggu sama Meyra, noh. Di samping lab biologi,” ucap Tendra padanya. Allan mengangguk dan berbalik badan untuk menuju tempat yang dimaksud.
Allan melihat Meyra—adik kelas yang lumayan dekat dengannya karena berada di salah satu ekstrakulikuler yang sama dengan Allan. Meyra mengalihkan pandangannya dari buku yang ia bawa, dan menatap Allan dengan senyum.
“Kak—“
“Gimana projeknya? Udah hampir beres?”Allan memotong ucapan Meyra. Adik kelasnya itu hanya tersenyum.
“Udah hampir beres, tapi soal pencairan dana dari sekolah, belum selesai,” ujar Meyra yang dijawab anggukan oleh Allan. “Gue yang urus itu.”
“Oke, Ka—“
Allan tidak memerhatikan ucapan Meyra ketika ia menangkap sesosok perempuan yang sangat ia kenal, berjalan beberapa meter darinya.
“Jadi—“
“Nanti pulang sekolah, kita lanjut bahas sama anak – anak lain.” Meyra kebingungan dengan sikap kakak kelasnya itu—yang bisa dibilang kurang ajar—dan hanya melongo ketika melihat Allan pergi dari hadapannya dan berlari dengan cepat menemui seorang perempuan.
Allan menepuk pelan pundak Athalea yang sedang asyik bercengkrama dengan Zeno. Zeno. Allan tahu siapa laki – laki yang ada di samping Athalea itu, dan Allan tidak suka. Laki – laki yang satu minggu lalu mengajak Athalea pulang dengan angkutan umum—like; Hey, dude, serius? Gak bisa lebih elite dikit apa?—dan membuat Athalea menjauh darinya. Kurang lebih itu yang Allan rasakan.
“Eh, hai, Lan!” sapa Athalea begitu menyadari kehadiran Allan. Tapi percuma saja, sedetik kemudian, Athalea berpaling dan masih kembali larut dalam obrolan random – nya dengan Zeno.
“Oh, jadi series-nya udah selesai? Kirain masih ada lagi.” Sayup – sayup Allan dapat menangkap pembicaraan Zeno dan Athalea.
“Iya,” balas Zeno yang membuat Allan mendengus sementara Athalea memekik tidak setuju dengan apa yang dikatakan Zeno. Allan tidak suka di posisi ini—karena Allan-lah yang seharusnya bercengkrama dengan Athalea, membahas apapun itu yang kini sedang mereka bicarakan.
Selama mereka berjalan menuju kelas mereka—yang kebetulan searah dengan gedung kelas dua belas—Allan hanya terdiam seraya menatap Zeno dengan tak bersahabat.
“Lea, aku lewat sini, ya,” ujar Zeno untuk berbelok menuju koridor kelasnya sementara kelas Athalea dan Allan berada di ujung.
“Iya, Kak.”
“Bye, Lea,” ujar Zeno dan tersenyum tipis pada Allan. Athalea juga membalasnya dengan ramah—sikap Athalea yang tidak Allan sukai.
Athalea berjalan mendahului Allan, tidak menyadari bahwa sedari tadi Allan menatapnya yang kian menjauh dengan pandangan heran. Tidak mengerti mengapa semua menjadi seperti ini.
***
Allan menahan pergelangan tangan Athalea ketika gadis itu akan masuk ke kelas mereka. Athalea berbalik dan sontak melepaskan tangannya dari Allan.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Simple Life
Ficção AdolescenteIni tentang kisah kehidupan sederhana Athalea Zefanny. Tidak ada kata 'ribet' dalam hidupnya. Hanya kehidupan sederhana. Tapi, ayolah, memang kehidupanmu akan selalu berjalan seperti itu, Athalea? Tidak. Karena faktanya, kehidupan itu rumit. Begitu...