Athalea memerhatikan wajah tampan itu dengan seksama, menghiraukan penjelasan panjang lebar yang sedang lelaki itu lontarkan padanya.
“Nanti ‘x’ ini disubstitusi ke jumlah yang tadi kita hitung—“
Dan blablabla... Athalea tidak peduli lagi dengan ‘x’ atau apapun itu yang sedang Zeno terangkan. Athalea terlalu senang melihat wajah Zeno sekarang.“Jadi, hasilnya udah bisa ketemu lewat satu cara aja, Lea. Kalo tadi—“
“—Lea?”
Athalea baru tersadar begitu Zeno ikut memandangnya sehingga tatapan mereka bertubrukan. Gadis itu mengerjapkan matanya dan masih saja terpaku pada wajah Zeno.
“Lea, ngerti ‘kan?” tanya Zeno dengan ragu karena melihat wajah Athalea yang seperti; iya-ngerti-kok-tapi-ajarin-lagi-dong itu. Athalea tersadar dari lamunannya dan tersenyum kecil pada Zeno.
“Iya, iya. Aku ngerti.” Boong! Boro – boro ngerti, merhatiin aja kagak! Athalea kembali membaca rumus yang Zeno tulis tadi.
Zeno masih ragu dengan jawaban Athalea, namun, laki – laki itu hanya mengehela napas. Menggapai segelas cokelat panas dihadapannya, Zeno masih memerhatikan Athalea yang kini sudah sibuk membaca rumus – rumus yang tadi diajari oleh Zeno—bukan memerhatikan wajah Zeno lagi.
“Oke. Ngerti, kok!” ujar Athalea dengan senang.
“Sekarang mau kemana?” tanya Zeno pada Athalea yang kini membereskan buku – buku yang ada di meja kantin itu. Begitu juga dengan Zeno yang memasukkan beberapa buku Matematikanya. Iya, mereka berada di kantin sekolah, karena Athalea meminta Zeno untuk mengajarinya materi pelajaran Matematika yang belum ia mengerti. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mampir sebentar di kantin tersebut setelah pulang sekolah dan belajar Matematika bersama—walau Athalea tidak mendengarkan semua penjelasan Zeno dan hanya memerhatikan wajah lelaki itu.
“Aku mau ke toko buku dulu,” ujar Athalea. Mereka berjalan beriringan untuk ke gerbang sekolah yang kini sudah sepi dan berjalan menuju toko buku yang memang tidak jauh dari sekolahnya.
Zeno mengangguk, “Aku anter?”
“Boleh.” Athalea tersenyum.
***
Allan mengerutkan dahinya begitu melihat sosok perempuan berkuncir satu yang sedang berdiri di pinggir jalan itu. Tangannya terlihat memegang beberapa buku dengan tangan yang lain memegang minuman. Athalea.
Lelaki itu mempelambat laju motornya dan setelah memastikan bahwa perempuan itu adalah Athalea yang ia maksud, Allan memberhentikan motornya tepat di depan Athalea.
“Atha?”
Athalea tersentak begitu tahu siapa yang memanggilnya. “Lan?”
“Kamu ngapain disitu?” tanya Allan seraya turun dari motornya dan berdiri di hadapan Athalea. Perempuan itu sedikit tergagap—bingung harus menjawab apa. Karena, ia tidak memberitahu Allan bahwa ia akan pergi belajar dengan Zeno.
“Dari toko buku.”
Allan masih menatap Athalea. “Sendiri?”
Crap! Kini Athalea tidak tahu harus menjawab apa. Apa ia harus berbohong dan mengatakan bahwa ia hanya pergi sendiri? Tapi ia tahu bahwa Allan tidak akan percaya hal itu. Iyalah, sejak kapan Athalea berani pergi – pergian sendiri?
“Sama Zeno.” Jujur aja, cari aman.
Perubahan raut muka Allan begitu kentara di hadapan Athalea. Lelaki yang biasanya pandai menyembunyikan ekspresinya kini kehilangan kemampuannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Simple Life
Teen FictionIni tentang kisah kehidupan sederhana Athalea Zefanny. Tidak ada kata 'ribet' dalam hidupnya. Hanya kehidupan sederhana. Tapi, ayolah, memang kehidupanmu akan selalu berjalan seperti itu, Athalea? Tidak. Karena faktanya, kehidupan itu rumit. Begitu...