Athalea menuruni tangga dengan hati yang tenang. Tidak seperti hari – hari biasanya yang selalu murung ketika berada di rumah, hari ini, Athalea baik – baik saja. Semua itu karena Zeno, jangan ditanya lagi. Dengan satu tangan membawa sepatu sekolahnya, dan tangan lain membawa botol minumannya, Athalea menghampiri meja makan dan sudah ada Zefan disana.
Zeno. Zefan. Entah kebetulan atau bukan, nama adiknya hampir sama dengan nama Zeno.
“Pagi,” sapa Arin ketika Athalea duduk di meja makan. Athalea membalas sapaannya dengan senyum lebar dan semangat.“Tumben, mood kamu lagi baik, ya?” goda Arin pada anak sulungnya itu. Athalea tersenyumm tipis dan mengangguk.
“Cieee~ lagi pol-in-lop sama Kak Allan, ya?” goda Zefan yang membuat Athalea yang sedang meminum susunya tiba – tiba tersedak.
“Apa sih, Zefan?” rutuk Athalea pada adiknya. Athalea jadi teringat bahwa semalam, Allan meneleponnya. Hanya untuk sekadar meminta maaf, karena dirinya sudah keterlaluan. Sementara Athalea memang sudah memaafkannya, tapi tetap saja Athalea kesal. Allan memang sudah benar – benar keterlaluan.
Athalea tidak suka Allan yang mengekangnya. Athalea tidak suka sikap Allan yang berlebihan.“Atha,” panggil Arin yang membuat lamunan Athalea terhenti dan kembali tersadar ke dunia nyata.
“Kamu sama Zefan, jangan benci ke Papa—apapun yang udah terjadi. Oke?” Athalea terhenyak karena ucapan Arin. Tadi, saat Zefan menyebut nama Allan, mood-nya sudah turun lima puluh persen, dan kini ketika masalah Papa kembali diungkit oleh Arin, mood-nya benar – benar hancur.
Papa sudah menyakiti Mamanya. Tidak ada alasan untuk Athalea untuk tidak membenci Papanya. Semenjak pertengkaran kedua orangtuanya beberapa bulan lalu, Athala sudah membenci Papa. Sangat.
“Gak bisa,” ucap Athalea dengan dingin. Matanya menatap tajam pada Arin.
“Atha...”
“Gak. Bisa.” Athalea menekankan ucapannya.
“Athalea, dia Papamu, Nak.”
“Oh, jadi lelaki tukang selingkuh itu Papaku? Bukan, Ma, dia bukan Papa. Dia pria berengsek!”
“Athalea!”
Athalea segera bangkit dari duduknya. Membawa bekal makan dan botol minumnya dan berlari menuju pintu utama tanpa kembali menengok ke belakang, tanpa menghiraukan panggilan Arin. Matanya perlahan mulai meneteskan air mata.
Gak, ini bukan gue. Gue gak akan secemen ini.
Athalea menetralkan degup jantungnya dan menghapus air matanya dengan susah payah. Ia berjalan meninggalkan rumahnya dan berharap tidak akan ada yang melihat ia menangis.“Atha!”
Athalea membalikkan badannya. Ia mendesah kecewa ketika mendapati Allan berada beberapa meter di belakang dengan motornya.“Kamu mau kemana? Tadi aku mau ke rumah kamu, kamunya udah jalan duluan,” ujar Allan seraya memberi kode agar Athalea naik ke motornya.
“Aku gak tau kamu bakal jemput,” jawab Athalea dengan pelan seraya menaiki motor Allan dengan hati – hati. Ia berharap Allan tidak melihat wajahnya sekarang, karena ia tahu sisa air matanya masih ada.
“Kamu gak papa?”
Athalea mengerutkan dahinya. “Emang aku kenapa?”
“Kamu nangis?” tanya Allan yang dijawab Athalea dengan gelengan.
Sadar bahwa Allan tidak melihatnya, Athalea menjawab, “Enggak.” Gadis itu bersyukur karena Allan tidak bertanya banyak dan hanya melajukan motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Simple Life
Teen FictionIni tentang kisah kehidupan sederhana Athalea Zefanny. Tidak ada kata 'ribet' dalam hidupnya. Hanya kehidupan sederhana. Tapi, ayolah, memang kehidupanmu akan selalu berjalan seperti itu, Athalea? Tidak. Karena faktanya, kehidupan itu rumit. Begitu...