“Zefan! Jagain rumah, ya!” teriak Athalea ketika ia akan keluar dari rumahnya bersama Zeno pagi itu. Zefan yang sedang memakan nasi goreng kesukaannya hanya bisa mengagguk dan mengacungkan jempolnya.
“Aku pergi, ya, Zef!” Sekali lagi Athalea berteriak sebelum benar – benar pergi dari rumahnya.
Pagi itu, ia diantar oleh Zeno ke pasar tradisional yang dekat dengan rumah Athalea karena Arin menyuruhnya untuk membeli beberapa bahan dapur. Sementara Arin sendiri harus membantu tetangganya yang akan melangsungkan pengajian.Awalnya, Athalea tidak mau. Pasti, pergi sendiri ke pasar, dan tidak tahu bahan – bahan apa saja yang dibutuhkan. Maksudnya, bagaimana bentuk bahan – bahan itu. Seperti, apa perbedaan antara ketumbar dan merica? Bahkan, bagaimana bentuk ketumbar saja Athalea tidak tahu. Hal pertama yang terbesit di benak Athalea adalah mengajak salah satu temannya. Pertama, Adera—si ratu dapur, sayangnya, Adera tidak bisa menemaninya karena ada acara keluarga. Lalu, kedua dan terakhir, Florin. Gadis itu bisa memasak dan tentu saja tahu apa saja bentuk dari bahan – bahan dapur itu. Sialnya, Florin juga tidak bisa menemaninya.
Akhirnya, Athalea mengajak Zeno. Hanya Zeno, karena tidak mungkin ia meminta bantuan Allan saat hubungan mereka merenggang.“Ayo, Athalea.” Athalea terlalu banyak melamun sampai tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di pasar. Zeno membayar ongkos pada sopir angkot itu—angkot, tentu saja, harus menunggu hingga tikus di rumah Athalea tidak buang kotoran lagi untuk melihat Zeno mengendarai motor.
Athalea menatap daftar bahan yang harus dibeli yang tadi ditulis oleh Arin. Biar kamu gak salah, terus gak kena omelan Mama, Tha, katanya.
“Tuh, kan! Susah, Kak! Apa coba ini tepung tapioka sama tepung beras. Kan, sama – sama tepung. Terus ini, jahe, kunyit, lengkuas. Kan, bentuknya sama aja!” ujar Athalea seraya menyodorkan kertas itu pada Zeno. Lelaki yang ada di hadapannya itu tertawa kecil.
“Aku tau, Lea. Udah, kita masuk aja dulu.” Zeno berjalan terlebih dahulu untuk masuk ke pasar itu. Athalea hanya bisa mengikutinya, karena ia tidak tahu dimana letak bahan – bahan tersebut.
Matahari sepertinya tidak memunculkan dirinya hari ini. Memilih untuk bersembunyi dibalik awan – awan kelabu yang membuat cuaca cukup bersahabat—untuk catatan saja, Athalea tidak suka cuaca panas.
Athalea hanya bisa menatap ke sekitarnya ketika Zeno sibuk berbelanja bahan – bahan di pasar itu.
“Bu, sama tepung berasnya dua kilo.” Sayup – sayup Athalea mendengar Zeno berbicara pada pedagang sementara Athalea hanya bisa menutup hidung dan berjinjit karena bau tidak sedap dan lantai yang sangat kotor di sekitar mereka.
“Lea, udah dapet tiga bahan. Tinggal lima lagi, kan?” tanya Zeno yang dibalas anggukan oleh Athalea. Bahkan, ia sendiri tidak tahu apa bahan yang dibeli Zeno itu. Lalu, apa tadi yang dikatakannya? Lima? Hanya lima lagi? Sebenarnya, Mama-nya itu ingin berbelanja kebutuhan sehari – hari atau mau membuka toko sembako?
“Kenapa, Lea?” Zeno kembali bertanya begitu melihat raut muka Athalea.
“Bau, jijik. Aku nggak mau ke sini lagi.” Silakan anggap Athalea lebay atau tidak cocok untuk menjadi ibu rumah tangga-able sama sekali. Athalea tidak peduli. Sial. Athalea hanya ingin pulang sekarang.
“Nanti kalo kamu jadi ibu rumah tangga, setiap hari harus ke sini, loh,” goda Zeno seraya berjalan beriringan dengan Athalea.
“Kalo nanti, aku suruh suami aku saja yang beli. Ogah aku harus ke tempat kayak gini lagi. Kalo suami aku Kak Zeno, kan nanti gampang, aku suruh Kak Zeno aja—”
Athalea tersadar bahwa ia sudah salah berkata. Ia memandang Zeno yang kini tersenyum ke arahnya. “Eh, maksudnya—”“Iya, nanti aku yang ke pasar, Athalea.”
Seketika itu juga Athalea merasa jantungnya berhenti berdetak.
***
“Nggak! Gue nggak kuat lagi!” Athalea menyimpan barang – barang yang dibawanya itu hingga membuat kantong plastik hitam yang dibawahnya terjatuh. Ia tidak peduli dan memilih untuk duduk dibangku kotor di dekatnya, tepat di depan warung kecil di pasar itu. Zeno hanya bisa tersenyum melihat Athalea yang begitu kesal bercampur lelah. Dengan sabar, Zeno mengambil kantong plastik yang dijatuhkan gadis itu dan ikut duduk di sampingnya. Padahal, barang yang ia bawa sudah banyak.
“Pulang, ya, Kak. Please, aku udah nggak kuat lagi,” keluh Athalea seraya mengibas – ngibas tangannya di depan wajah. Mencoba untuk mengusir keringat yang bercucuran, walaupun udaranya sejuk dan tidak panas, ternyata berjalan di pasar selama beberapa jam mampu membuatnya berkeringat.
Zeno tersenyum melihat kelakuan Athalea. “Iya, bentar lagi. Kaki aku juga pegel soalnya.”
“Kok Kak Zeno bisa tau bahan – bahan dapur, sih? Bedanya tepung tapioka sama tepung beras aja tau. Kok, aku nggak tau?” tanya Athalea yang begitu polos hingga membuat Zeno terkekeh.
“Aku pernah ikut ibu aku ke pasar. Waktu itu, adik kembar aku masih kecil, repot kalo ibu doang yang bawa sendiri. Kalo ditinggal dirumah, lebih repot. Jadi, aku ikut aja ke pasar. Dari situ, aku jadi tau bahan – bahan dapur.” Zeno bercerita layaknya menceritakan kisah pada anak kecil. Mungkin, jika sahabatnya melihat ataupun mendengar ucapan Zeno tadi, mereka akan tertawa terbahak – bahak.
Athalea hanya menganggukkan kepalanya, mengerti. Ia memperhatikan Zeno yang berbalik untuk membeli minuman pada warung di belakangnya.“Ini.” Zeno menyodorkan sebotol air mineral yang langsung diterima oleh Athalea.
“Athalea, hubungan kamu sama Allan gimana?” Untung saja Athalea sudah selesai menengguk minumannya dan menutup botol itu, jika tidak, ia mungkin sudah tersedak karena pertanyaan Zeno yang sangat mengejutkan.
“Maksudnya?”
Zeno mengangkat bahunya. “Aku jarang banget ngeliat kalian barengan lagi.”
Kan, aku barengnya sama Kak Zeno. Aku ‘maunya’ sama Kak Zeno. “Emang lagi nggak bareng, Kak.” Athalea berucap dengan malas karena ia tidak mau membahas Allan. Tidak dengan Zeno.
“Kenapa?”
“Aku—Dia, hm. Aku emang—kita lagi break.”
Zeno paham bahwa Athalea belum siap menceritakan apapun yang terjadi. Jadi, ia hanya tersenyum, tangannya bergerak mengelus rambut Athalea, “Kalau ada apa – apa, kasih tau aku.”
Athalea membeku. Tangan Zeno masih berada di kepalanya. Lelaki itu terlebih dahulu sadar akan perbuatannya langsung menarik kembali tangannya dan tersenyum simpul.
“Athalea, aku tau kalo ini gak tepat banget. Tapi, aku cuma mau bilang kalo—”
Ada jeda saat Zeno ingin melanjutkan perkataannya. “Kalo apa?” tanya Athalea dengan penasaran. Unuk alasan yang tidak jelas, Athalea merasakan jantungnya berdetak lebih kencang dari yang biasanya.
“Aku suka, Tha.”
Athalea mengerutkan dahi. “Sama siapa?”
“Siapa lagi, Tha?” Zeno mulai salah tingkah. Wajahnya mulai memerah karena menahan malu.
“Allan? Kakak gay?”
Zeno menghela napas seraya mengusap wajahnya gusar. “Athalea Zefanny, sama kamu-lah!”
Athalea merasakan jantungnya berhenti—oh, tidak. Terlalu berlebihan, Athalea tidak mati—Athalea merasakan tangannya dingin dan dia tidak mampu berkata – kata. Ia tidak salah dengar? Zeno?
“Kak—”
“Aku cuma bilang aja, Athalea. Asal yang kamu tahu, itu lebih dari suka.”
“Kak—”
“Ayo pulang.”
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Simple Life
Fiksi RemajaIni tentang kisah kehidupan sederhana Athalea Zefanny. Tidak ada kata 'ribet' dalam hidupnya. Hanya kehidupan sederhana. Tapi, ayolah, memang kehidupanmu akan selalu berjalan seperti itu, Athalea? Tidak. Karena faktanya, kehidupan itu rumit. Begitu...