Athalea melongo dan hampir menjatuhkan semua barang belanjaan yang ia bawa bersama Zeno ketika melihat Arini sedang memilih-milih sayuran di tukang sayur keliling yang ada komplek perumahannya. Gadis itu masih terpaku ketika Arini sudah masuk ke dalam rumah dan tak lupa menyuruh Athalea dan Zeno ikut masuk.
“Ma, Mama beli sayuran banyak banget?” tanya Athalea dengan amarah yang sudah diubun-ubun.
“Iya, kamu lama, sih ke pasarnya. Untung tadi tukang sayurnya lewat, jadi Mama bisa beli disitu.” Arini mulai mencuci beberapa sayur dengan tenang tanpa meliat wajah putrinya yang sudah kesal.
“Terus aku ngapain sama Kak Zeno ke pasar?” Sabar, Tha. Itu emak lo.
“Ya, Mama suruh kamu buat nambahin bahan-bahan dapur, Tha. Kok kamu kayak rugi banget disuruh sama Mama?”
Athalea menyimpan kantong plastik yang ia bawa—sedikit membantingnya. “Kalau ada tukang sayur keliling, kenapa Mama nyuruh Atha ke pasar?” Athalea ingin menjambak rambutnya karena kesal dengan perilaku Arini.
“Sutt! Kamu ini teriak-teriak mulu. Nggak apa-apa kali, Tha. Lumayan jalan sama cowok ganteng,” ujar Arini seraya melirik Zeno yang sedang bermain dengan Zefan. Athalea mengikuti pandangan Arini dengan muka memerah.
“Mama, ah!”
***
Esok harinya, mood Athalea hancur sepenuhnya. Hancur berkeping-keping hingga Athalea tidak tahu bagaimana cara membuat mood-nya kembali lagi. Pertama, ia lupa mengerjakan tugas Sejarah yang memang sudah ditugaskan seminggu yang lalu. Kedua, hari ini ia ada pelajaran Bahasa Indonesia, dan gurunya yang sangat menyebalkan. Athalea ingin sekali melenyapkan guru itu jika ia sudah tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Terakhir, saat berangkat tadi, Athalea melihat Allan dan Meyra berangkat ke sekolah bersama. Athalea akui, ia tidak suka. Tolong catat, tidak suka, bukan cemburu.
“Manyun mulu lo, Tha. Biasanya juga tugas ketinggalan b aja.” Adera meledek Athalea yang sedari tadi diam seribu bahasa selama pelajaran Sejarah berlangsung. Gurunya memang tidak marah pada Athalea, tapi yang membuat Athalea kesal setengah mati adalah perilaku Allan yang tidak merasa bersalah padahal tadi pagi sudah jelas ia melihat Allan dan Meyra berangkat bersama.
Athalea menghela napas, menelungkupkan kepalanya pada meja dan mencoba untuk menenangkan pikirannya.
“Atela Zefanya.” Athalea tersentak ketika mendengar panggilan tegas dari guru Sejarahnya dan baru menyadari bahwa seisi kelas memperhatikannya.
Athalea menghela napas karena gurunya salah menyebutkan namanya. “Athalea Zefanny, Pak.”
“Nggak ada Atela di sekolah ini, Pak. Ada juga Attelia—kelas Alam 3. Zefanya itu anak Ibu Kantin, Pak. Bukan nama saya.” Athalea dengan sabar menjelaskan di mana letak kesalahan guru itu. Sontak seisi kelas tertawa mendengar perkataannya.
“Oke, Ani—”
“Kok Ani?” Athalea memberenggut tidak suka.
“Athalea Zefanny, bukan? Zefanny—ani.”
Athalea mendesah lelah. “Terserah Bapak saja, deh.”
Kembali, seisi kelas tertawa. Diam-diam Athalea memperhatikan Allan yang tersenyum tipis—bukan ke arahnya, tapi ke temannya. Dan, Athalea semakin tidak suka dengan sikap Allan.
***
“Ngapain?” Athalea bertanya dengan sinis pada Allan yang mengajaknya untuk bertemu di kafe dekat sekolah. Halah, sok-sok kafe, duit masih minta ke emak aja belagu, Athalea tidak bisa menahan kekesala dalam hatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Simple Life
Teen FictionIni tentang kisah kehidupan sederhana Athalea Zefanny. Tidak ada kata 'ribet' dalam hidupnya. Hanya kehidupan sederhana. Tapi, ayolah, memang kehidupanmu akan selalu berjalan seperti itu, Athalea? Tidak. Karena faktanya, kehidupan itu rumit. Begitu...