00

162 9 0
                                    

Music: Waves by Mattia Cupelli

22nd April 2017 on 08.11 AM

"Selamat pagi, John. Apa yang bisa kau katakan tentang pagi ini?"

"Ah... Hari ini benar-benar cerah, Shintya! Kota kecil ini benar-benar indah hari ini! Aku bisa melihat langit biru tanpa halangan kapas putih sedikitpun!"

"Ahaha... Kau benar sekali John! Hari ini sangat cerah! Semoga pendengar sekalian bahagia seperti cuaca hari ini. Sekarang, mari kita dengarkan beberapa lagu yang bisa membuat kalian semangat untuk menjalankan aktivitas di akhir pekan hari ini!"

Aku mematikan saluran radio lokal yang sejak tadi hanya membicarakan soal cuaca, saran tempat berlibur, dan berita membahagiakan lainnya.

Ah... Berita.

Berita besar tentang keluarga kami biasanya tersebar luas di kota ini. Entah dari surat kabar dan radio lokal. Tak jarang juga media dari televisi mendatangi kami saat berita besar dari kami memanas.

Tapi, tidak kali ini. Kami menutup rapat-rapat untuk yang satu ini. Tidak ada satupun dari pegawai perusahaan yang mengetahuinya, bahkan keluarga Jones sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi.

Sampai saat ini, sampai detik ini, hanya aku, ayah, dan iblis sialan itu yang mengetahuinya.

Sebelum ini, ayah tidak memberitahuku apapun. Ayah tidak membicarakan apapun soal ini. Namun, terlihat jelas hidup ayah begitu kacau. Di saat itu, ayah berusaha untuk tenang. Tapi, kadang terlihat olehku dia terlihat gelisah dan bahkan frustasi.

Sempat pula aku mengintip ayah dari kamar. Ayah berteriak dengan begitu kencangnya dan menyingkirkan semua pajangan vas bunga dari lemari kecil. Tentu saja, suara pecahan vas itu terdengar di seluruh penjuru rumah. Ayah juga sempat membanting kursi di ruang makan. Itu membuatku sangat takut untuk mendekati ayah.

Aku benar-benar tidak berani untuk membicarakan apapun dengan ayah. Aku hanya bisa menunggu sampai kekacauan ini berakhir. Aku mengurung diri di kamarku karena rasa takutku pada ayah. Bahkan... Aku sampai tidak bersekolah selama seminggu karena itu.

Aku benar-benar merasa takut melihatnya seperti itu. Bahkan... Rumah sudah sangat berantakan karenanya.

Ketika ia pergi bekerja, aku hanya bisa merapikan semua kekacauan yang telah ayah perbuat. Tak jarang pula aku merenungkan semua yang telah terjadi di sini.

Aku hanya bisa menunggu sampai keadaan ayah membaik. Begitupun dengan diriku sendiri.

Semua itu kulakukan sampai tiba hari ini.

.
.
.
.
.
.

Tok tok tok

"Dania?" Suara lemah ayah terdengar di balik pintu kamarku.

"Apa kau ada di dalam?"

Hari ini ayah melihatku sekarang. Dia menghampiriku di kamarku ini. Aku beranjak dari ranjangku dan menarik napas panjang. Kulangkahkan kakiku perlahan menuju pintu itu dan berhenti di depannya.

"Dania? Buka pintunya. Aku ingin bicara."

Aku membuang napasku pelahan dan membuka kunci kamarku, lalu memutar gagang pintunya. Pintu pun terbuka dan kami saling berhadapan sekarang.

Ayah terlihat lesu. Pakaiannya hanya sepotong kemeja putih dengan celana hitam. Tangan ayah penuh dengan luka. Dia menatapku. Mematung di hadapanku.

Akhirnya aku berhadapan kembali dengan ayah. Akhirnya aku bisa melihat ayah secara langsung kembali. Ayah banyak berubah. Ayah saat ini tidak seperti ayah yang kukenal biasanya.

180 Degrees: Changes of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang