17

22 4 0
                                    

"Ah... Nona Dania. Anda melihat pintu itu? Itu adalah kamar Tuan Muda saat beliau masih kecil."

Aku menengok Tuan Thomas yang berdiri di depanku dengan senyuman hangat di bibirnya. Lalu, tak lama setelahnya, aku kembali melihat pintu tadi.

Sudah kuduga. Aku begitu ingat pintu kamar itu. Dulu, Daniel membawaku masuk ke kamar itu dan bercermin di sana. Aku mulai mengenal Daniel di dalam sana. Dia masih sangat polos dan tidak mengerti apapun.

Aku mengukir sebuah senyuman kecil dan berjalan ke ruang tamu untuk menyusul ayah dan Tuan Thomas yang sudah berjalan ke arah sana.

Ruang tamu ini adalah tempat di mana keluarga kami mengambil foto. Satu persatu foto seluruh anggota Keluarga Jones terpampang di koridor pendek menuju ruang tamu.

Aku melihat foto Kak Ezra dan Kak Luna bersama dalam satu bingkai. Lalu, ada fotoku bersama Kak Luna. Foto-foto yang menunjukkan kedekatan antar anggota keluarga terpampang di sini. Foto ayah dengan Paman Frank, dan Paman Donny juga ada di sini. Begitupun foto kakek dan nenek selaku pendiri keluarga besar bermarga Jones dengan perusahaannya yang sudah berjalan puluhan tahun. Lalu, di ujung koridor tempampang foto Keluarga Jones yang sangatlah besar dan dibingkai dengan bingkai emas dengan ukiran rumit yang sangat spesial.

Aku ingat dulu aku juga pernah mengambil foto bersama Daniel. Dulu, dia yang mengajakku untuk berfoto bersama untuk kenang-kenangan. Hanya saja... Aku tidak bisa menemukan foto kami di sini.

"Dari semua foto di sini, aku tidak melihat foto Daniel dan Dania di sini. Seingatku, mereka pernah berfoto bersama. Kira-kira, di mana foto itu berada? Aku ingin sekali melihatnya."

Ayah melontarkan pertanyaan yang sama denganku. Rupanya ayah juga sibuk memperhatikan semua foto keluarga ini.

"Benar. Tuan Muda memang pernah berfoto dengan Nona Dania. Tapi... Maafkan saya, tuan. Foto itu sudah tidak ada lagi.

"Sebelumnya maafkan saya jika perkataan saya membuat anda dan Nona Dania kecewa. Beberapa tahun lalu, Tuan Muda memaksa Tuan Besar untuk menurunkan foto beliau bersama Nona Dania. Tuan Besar menolak keinginan beliau dan beliau pun mengambil dan memecahkan bingkai foto tersebut dan merobek fotonya."

"Ah... Aku ingat bagaimana Daniel benar-benar membenci Dania. Padahal saat hari foto itu, mereka seperti sudah menjadi teman baik."

"Benar, tuan. Saya ingat itu."

Aku tak terkejut mendengar itu. Beberapa tahun lalu Daniel memang sangat membenciku. Jadi... Wajar saja dia melakukan itu.

Meskipun aku tidak terkejut, aku merasa kecewa dengan perlakuan Daniel padaku. Daniel sangat membenciku. Hanya saja aku tidak pernah bisa mengerti mengapa dia membenciku.

Dia sering mengacuhkanku, bahkan menghancurkanku. Benar-benar menghancurkanku.

Maka dari itu, ayah memintaku untuk menjaga jarak sejauh mungkin dari Daniel. Sejak permintaan itu dilaksanakan, aku tidak pernah bicara ataupun melihatnya dengan jarak dekat. Aku berusaha untuk tidak terlihat olehnya. Seolah aku menghilang darinya. Namun, kenyataannya...

Aku selalu mengamatinya.

Setiap hari.

Kami pun sampai di ruang tamu. Tuan Thomas berhenti di depan sofa dan mempersilakan kami untuk duduk di sana.

"Silakan duduk, tuan, nona."

"Terima kasih, tuan."

Aku melihat beberapa sofa panjang di depanku. Ayah menduduki salah satu sofa dan aku pun melihat Tuan Thomas.

Pembicaraan soal Daniel mungkin sebaiknya dibicarakan oleh ayah saja. Aku tidak ingin mengacaukan kesepakatan tentang kematian Daniel itu. Sebaiknya aku pergi ke sebuah tempat yang bisa menyibukkanku sejenak.

180 Degrees: Changes of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang