5

18.7K 1.8K 131
                                    

Benja yang masih di sekitarku langsung tampak kaget mendengarkan pernyataan Oim. Alisnya saling menaut dengan delikan tajam ke arahku. Tangannya tak henti mengelus punggung Dea. Melihat ekspresinya yang mulai terlihat curiga membuat panik. Kuteguk ludahku. Tak ada cara lain. Aku harus berakting lagi dan semoga Oim tidak melupakan janjinya padaku.

"Mama Bunda Qinsy ya maksudnya? Alias Eyang kan, Oim? Ya ampun, iya iya maafin, Bunda ya. Bunda kan nggak tahu, Oim ...," ucapku dibuat sambil memegang bahunya.

Kukedipkan mataku supaya Oim ingat akan janjinya tadi siang. Tapi sepertinya usahaku tidak berhasil karena Oim malah terlihat heran.

"Janji janji," kataku tanpa suara. Kemudian kulirik Benja, ia seolah menunggu lanjutan obrolan kami. Ayo dong, Oim. Ralat ralat. Masa kebohonganku cepat sekali sih terbongkarnya.

Oim tiba-tiba menepuk jidatnya. Matanya melotot ke arahku. "Bunda, maaf! Oim lupa!" serunya kencang.

Alhamdulilah! Terima kasih ya Allah. Senyum semanis mungkin sengaja kupasang.

"Iya. Nggak apa-apa. Maksud Oim tadi itu mamanya Bunda kan?" tanyaku sekali lagi.

Oim langsung mengangguk kencang. "Iya iya!"

Aku menghela napas lega. Aku pun berdiri dan kugenggam tangan mungil Oim. Benja terus melihatku sinis dan tangis Dea tak henti-henti. Mungkin memang tadi ucapanku salah karena menanyakan maminya. Ah bodo amatlah dengan Benja. Aku harus menghibur Dea. Badannya sampe bergetar begitu karena menangis terisak-isak. Aku tak tega.

Kusentuh punggung Dea. Mata Benja membesar kaget.

"Mau ngapain?" tanyanya dengan suara berbisik penuh penekanan.

Aku memilih mengabaikannya. "Ehm, Dea jadi pipis nggak? Biar Tante temenin sini. Maafin Tante ya tadi nanyain Mami Dea. Tante nggak sengaja. Serius!" Aku menawarkan diri.

Kepala Dea yang tadinya tenggelam di pundak Benja langsung menoleh ke belakang melihatku. Matanya berair. Ditatapnya aku sendu. Ya ampun. Aku jadi merasa bersalah.

"Tante mau nemenin Dea?" tanyanya disertai segukan.

Aku mengangguk. "Iya dong! Nggak mungkin kan Papi yang nemenin. Papi Dea kan cowok. Ya kan, Oim?"

"Iya, Dea!" seru Oim kencang. Sepertinya ia sudah menyadari akan kesepakatan utama kami. Baguslah.

Dea kembali menghadap Benja. Dan ini pertama kalinya aku melihat senyum Benja yang setulus ini. Selama ini senyum Benja selalu seperti iblis yang memiliki maksud di baliknya. Tapi ini? Ia terlihat sangat tulus sekali. Oke. Aku cukup terpana melihatnya. Astaga, Qinsy! Apa yang dirimu pikirkan?! Wajar saja dia senyum setulus itu karena Dea adalah anaknya!

"Papi, Dea boleh kan sama pipis sama Bundanya Oim?"

Senyum Benja yang sempat kupuji tadi langsung menghilang dalam sekejap. Senyumnya berubah kecut. Sialan! Kalau bukan karena anaknya, aku juga ogah begini. Kucabut kata-kataku tadi!

"Dea yakin? Papi bisa panggilin petugas di sini. Papi nggak percaya sama bundanya Oim."

What?! Kemampuanku dalam membantu anak kecil pipis saja diragukan! Emang saudaranya kampret si Benja ini.

"Kok gitu, Pi? Bunda Oim baik loh nawarin Dea," ucapnya sembari menghapus air matanya.

Benja tersenyum. Kali ini senyumnya itu membuatku ingin membejeknya.

"Papi kurang percaya. Nanti Dea nangis lagi. Papi kan nggak mau." Kuputar bola mataku ke atas malas.

"Om! Bunda Oim itu baik. Nggak akan buat Dea nangis lagi kok! Tadi Bunda nggak sengaja!"

Cita-cita : MENIKAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang