22

16.5K 1.8K 220
                                    

Oke. Maafkan yaaaa tadi kepencet publish. Itu murni ketidaksengajaan. Baru sadar pas udah sejam kepublish. Aku usahakan menulis itu setiap pulang kerja, jadi boleh ya apresiasi kalian atas cerita ini untuk di ....

VOTE DAN KOMEN :)))

Satu lagi. Ada beberapa part di private. Jadi tolong follow sebelum baca. Bukan memaksa follow tp ya butuh kesadarannya aja sih hehe kan kita saling feedback. 

(Aku rela nulis malam2 karena baca komen kalian tadi wkwk)

Happy reading!


---------------------------------------------------


"Aaaaaa!" teriakku kencang setelah menyebut nama Benja. Benja dan suster juga ikut terpekik kuat mendengar teriakanku sampai akhirnya ....

Dubrak! Suara pintu terbuka yang keras membuat kami bertiga sontak terdiam dan menoleh bersamaan ke asal suara. Langkah kaki heboh juga terdengar menuju ruangan kecil ini dan sosok itu ternyata adalah ....

"Ya Allah, Qinsy! Lo kenapa?" Kak Divi langsung heboh dan menerobos masuk ke dalam ruangan tempatku diperiksa. Wajahnya dipenuhi rasa kecemasan. Napasnya naik turun memandangku. Kak Divi pasti kaget sekali. Mulutku kelu tak mampu menjawab pertanyaannya. Kak Divi pun beralih memandang Benja dan Suster. "Dok, Sus, adik saya nggak kenapa-napa kan? Tadi pas dengar teriakan kencang dari luar saya langsung lari ke sini takut terjadi sesuatu sama adik saya." Kak Divi bertanya dengan sangat cepat.

"Nggak kenapa-napa kok, Bu. Tadi saya cuma kaget karena Mbak Qinsy teriak. Saya jadi latah ngikut. Dokter Benja juga gitu. Kita sama-sama kaget. Ya kan, Dok?" tanya Suster pada Benja yang berada di sebelahnya. 

Tapi bukannya menjawab Benja malah memandang tangan kanannya nanar. Bahkan tangannya juga bergetar. Ekspresi Benja terlihat syok. Tatapannya seolah hanya terfokus pada tangan kanannya. Ehm ... apa jangan-jangan tangan itu yang memegang anuku? Makanya Benja terus memandang tangannya. Huaaaa. Ingin rasanya aku ke jurang sekarang dan terjun bebas ke sana. Aku yang masih dalam posisi tiduran tidak berani bergerak sedikit pun. Sumpah, malunya sudah tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.

"Dok ...," panggil lirih suster menyadarkan Benja.

Ia pun menurunkan tangannya segera dan langsung melepaskan sarung tangan yang menyelimuti tangannya. Kemudian ia membuang sarung tangan itu ke tong sampah menggunakan ujung kuku telunjuk dan jempolnya. Ketara sekali betapa ia jijik melihat sarung tangan itu. Ya Allah ya Allah. Mau menangis rasanya.

"Ibu siapanya, Qinsy?" Benja akhirnya buka suara. Wajah syoknya mendadak sirna dan tergantikan dengan senyum ramah yang selama ini tak pernah aku lihat seumur hidup. 

Kak Divi melihatku sekilas. "Saya kakaknya Qinsy. Saya juga pasien Dokter Tika, Dok." 

Benja pun berjalan menuju mejanya. Kak Divi menyusul di belakangnya. Begitu juga dengan suster. Sementara aku masih terbaring di atas ranjang ini. Kakiku rasanya tak sanggup berjalan dan berbicara pada Benja. Pasti ia akan menjelaskan perihal penyebab anuku gatal. Ya Allah, itu memalukan tidak sih? Kenapa oh kenapa yang memegang anuku pertama kalinya adalah seorang Benja? Huaaaaa.

"Saya Benja. Ibu lagi hamil ya?" Suara Benja masih terdengar jelas di ruangan kecil ini. 

"Iya, Dok. Baru dua minggu yang lalu saya kontrol. Padahal Dokter Tika udah bilang kalau bakal ada Dokter yang gantiin dia. Saya nggak nyangka ternyata yang gantiin Dokter Tika ternyata masih muda sekali dan ganteng hehe."

Ya ampun, Kak Divi kenapa jadi centil seperti itu sih? Apa dia akan tetap centil seperti itu jika dia tahu bahwa Benja adalah musuh bebuyutanku pas SMA? Serius, aku malu coba mau bangun dari ranjang ini. Membayangkan tatapan Benja itu sungguh membuatku menjadi ciut luar biasa. 

Cita-cita : MENIKAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang