28

15.6K 2K 251
                                    

Hehehe maaf lama update ya karena minggu ini aku ke luar kota. Tadi baru sampe rumah. Eh ternyata votenya sesuai target.

Untuk next chapt masih sama ya. Target gue 800 baru gue update. Ingat 800 :))

Happy reading!!

------------------------------------------


"Lo tuh bisa nggak sih sesekali kalau ngomong mikirin perasaan orang?!" pekikku kuat. Aku benar-benar tak bisa menahan emosi jika berhadapan dengan Benja.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu saja menyayat hati. Hal itulah yang membuatku benci jika melihatnya. Aku selalu menghindarinya semata-mata agar tak ada lontaran menyakitkan meluncur dari bibirnya. Tapi sialnya aku sering terjebak dengannya. Selalu saja ada hal yang membuatku harus berkomunikasi dengannya.

"Gue kan jujur ...," ucapnya santai tanpa rasa bersalah sedikit pun sambil sesekali menyeka wajahnya.

Kesanku di matanya pasti sangat buruk. Hal yang dia bilang sebagai keapesannya juga benar. Kemarin ketek dan sekarang air liur. Tapi kan itu semua tidak disengaja. Lagipula aku juga heran, kenapa dia yang selalu jadi korban apesku? Huh! Sudahlah. Daripada berdebat dengannya yang kurasa akan sulit berhenti, lebih baik aku buru-buru pergi. Ada dua orang yang menunggu kehadiranku dan hal itu jauh lebih baik daripada menghabiskan waktu dengan si Bentoloyo ini.

"Yaudah sebebas lo aja deh. Makasih atas kejujuran lo. Semoga kejujuran lo dibalas sama Tuhan yang maha esa!" tukasku kesal.

Benja malah menyeringai. "Aamiin. Lo juga harus gitu dong. Jujur. Jangan kebanyakan bohong. Nggak capek apa bohong terus?" tanyanya sembari menyandarkan dirinya ke pintu mobil. Matanya sesekali menyipit karena terpaan sinar matahari yang menghampiri wajahnya. Untung saja aku memakai helm dan posisiku membelakangi matahari.

"Urusan bohong gue bukan urusan lo. Lagipula lo sebenarnya mau ngapain sih ke sini dan nanyain alamat Kak Divi? Lo nggak ada kerjaan banget apa di siang bolong gini cari-cari alamat orang?" tanyaku kesal. Wajahku sudah amat sangat tertekuk memandangnya.

"Kebetulan sih sekarang gue lagi nggak ada kerjaan. Makanya gue cari alamat kakak lo karena ketika gue ke alamat lo, katanya nggak ada orang rumahnya yang bernama Qinsy."

Kukerutkan dahiku bingung. "Jadi sebenarnya lo cari gue atau kakak gue sih?"

Benja tersenyum. Ia kembali memandang langit. "Ehm ... di sini panas banget. Mending lo ikut gue."

"Hah?! Ke mana?!" pekikku kencang lagi-lagi tepat di wajahnya. Tangan Benja langsung bergerak sigap menutup wajahnya. Sial! Kok kesal ya melihatnya? Aku pun buru-buru mundur lagi menjauh dari dirinya. Padahal aku tahu betul bahwa ludahku tidak muncrat ke mana-mana.

Benja pun menurunkan tangannya. Kemudian di pandang punggung tangannya. "Eh kirain muncrat hehe." Ia berkata dengan cengiran tanpa rasa segan sama sekali.

Kukerucutkan bibirku. "Najisun lo! Doyan banget ya buat gue kesal." Kuhela napasku kasar. Tapi Benja cuek dan terus memandangku. Aku tak bisa berlama-lama dengannya seperti ini. Sebaiknya aku pergi sekarang. "Ehm kayaknya kita nggak ada urusan deh, jadi gue nggak harus ikut sama lo. Ehm ... mending lo pulang aja. Gue juga ada urusan sendiri soalnya." Entah kenapa aku agak bahagia karena menolak ajakannya. Ya mau apa juga Benja mengajakku bersamanya.

"Urusan ke mana?" tanyanya santai.

Tak mungkin aku bilang mau bertemu Bang Mefra. "Ada urusan kerjaan. Lo nggak perlu tahu."

Benja pun memandangku dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Pakaian kerja kayak gini?"

Otomatis aku juga ikut memandang diriku. Ya pakaianku memang santai sekali sih. Lagipula kan ini bukan kerja. Untuk kesekian kalinya aku berbohong pada Benja. "Ya emangnya kenapa kalau gue kerja pakaiannya kayak gini?"

Cita-cita : MENIKAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang