12

15.7K 1.7K 180
                                    

"Bang, gue pulang ya. Kita lain kali aja makan barengnya." Tapi di saat aku mau beranjak pergi. Bahuku malah ditahan Bang Mefra. Ia melarangku untuk pergi. Ya ampun, kenapa sih Bang Mefra tetap ngotot?

Dia tidak malu memangnya makan di tempat mewah seperti ini dengan cewek belum mandi bau ketek? Tadi Bang Mefra yang bilang ketekku bau sekarang Benja. Masya Allah rasanya aku ingin terjun bebas ke jurang sekarang saking malunya hiks.

"Nggak. Lo tetap di sini. Gue nggak keganggu kok sama bau ketek lo. Yang keganggu kan cuma tuh cowok tengil. Udah. Lo ke sini sama gue. Abaikan aja dia." Bang Mefra berusaha menghiburku. Tapi ya tetap saja dia mengakui bahwa aku bau ketek di depan Benja huaaaaaa.

"Orang yang jarang gunain pikirannya, akan selalu jarang berpikir jauh. Ini tempat ramai dan kalian sangat amat percaya diri makan di sini dalam bau? Ckck," decak Benja masih di belakangku. Aku benar-benar tak tahu bagaimana reaksi dan apa yang ia lakukan sekarang. Lihat saja tuh mulutnya. Pedas sekali!

"Ben, mereka siapa memangnya?" tanya seseorang dengan suara berat yang menjadi lawan bicara Benja tadi.

Bang Mefra langsung bangun dan berjalan mendekati meja Benja. Bang Mefra tuh apa-apaan sih?! Urat malunya tak pernah putus sama sekali. Mataku jelas saja bergerak mengikuti perjalanan tubuhnya. Ternyata ia malah menyodorkan tangannya ke hadapan seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih semua dengan pedenya.

"Kenalkan saya Mefraldi Saditya, Pak." Papa Benja pun menerima uluran tangan Bang Mefra. Kemudian mereka berjabat tangan. Bang Mefra malah tanpa rasa sungkan memberikan kartu namanya pada Papa Benja. "Ini kartu nama saya."

Papa Benja melakukan hal yang sama. Mereka bertukaran kartu nama. "Hmm kamu seorang produser ternyata."

"Iya. Sekaligus pemilik PH, Pak. Dan Bapak seorang kepala rumah sakit? Ini kan rumah sakit mahal, Pak."

Tuhkan! Bang Mefra itu bisa sangat cepat dekat dengan seseorang. Aku sekarang sudah memutar tubuhku dan bisa kulihat Benja terus melanjutkan makannya. Sesekali ia menatap sinis Bang Mefra. Ia kembali membelakangiku.

Papa Benja tersenyum. Kini ia menatap ke Benja. "Ben, mereka teman apa kamu? Hebat loh punya teman seorang produser." Mata Papa Benja sangat ramah. Bahkan ia sempat melirikku. Karena malu kurundukkan kepalaku segera.

"Bukan teman, Pa. Ben cuma pernah kenal mereka ketika SMA," sanggahnya. Aku yang duduk di belakangnya jelas saja merengut sebal. Dia benar-benar tidak menganggapku teman sampai segitunya ya. Ckck. Dasar Benjontoloyo. Itu ejekan yang sering aku lontarkan ketika perang dengannya dulu.

Bang Mefra seperti dugaanku pasti tak menerima pernyataan Benja. "Woy, oke. Kalau gue nggak lo anggap teman pas SMA sih nggak masalah. Tapi kan nggak dengan Qinsy. Dia teman sekelas lo loh! Ingat banget gue!"

Aku mengangguk cepat setuju. Jahat kadang si Benja ini.

"Loh? Teman sekelas toh?" tanya Papa Benja ke arahku. Kembali aku menganggukkan kepala. "Ben, jangan gitu-gitu amat jadi orang. Teman sekelas itu juga disebut teman," timpal Papa Benja.

Aku dan Bang Mefra saling berpandangan dan tersenyum puas. Kami menang darinya hahaha.

"Ya emang, Pa. Qinsy teman sekelas Ben dari kelas 10 sampai 12. Sedangkan Mefra, kakak kelas Ben. Tapi kita juga nggak dekat. Ngobrol baik aja jarang. Hal kayak gitu nggak bisa disebut teman." Benja tetap bertahan pada asumsinya.

Cita-cita : MENIKAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang