29

16.2K 1.9K 294
                                    

Maaf ya lama hehe ya votenya kurang sih hehe tp yaudalah. Suka suka kalian aja mau vote apa nggak. Tapi updatenya sesempat aku ya. Beberapa hari ini lagi ada masalah aja dan itu cukup menyita waktu serta mood. Maaf yaaa.

Oiya maaf kalau cerita ini kayak sinetron bgt. Jujur ya menghubungkan antara penulis, dokter kandungan, produser, dan editor itu lumayan buat mikir hehe. Mgkn kalo buat cerita yg sekantor gampang krn banyak ketemu. Jadi cerita ini emang ringan dan sengaja dikebetulkan kebetulkan. Maaf kalau ga bisa dicerna dan ga nyambung serta maksa. Tp aku usahakan supaya nyambung sih. Sori ya.

Vomen ya. Thanks.

Happy reading :*

———————————————————

Plak! Tanganku refleks menampar Benja. Benja kurang ajar! Tak sopan! Aku juga langsung merebut ponselku dari tangannya dan tanpa banyak basa-basi kumatikan video call dari Bang Mefra. Kemudian kuambil helm yang tadi sempat kutaruh di tanah kemudian memakainya. Setelah itu buru-buru menghampiri Oim. Wajahnya ketara tak suka sekali melihatku.

"Tadi Papi Dea kok pegang-pegang leher, Bunda?" tanya Oim dengan polosnya padaku. Ia bahkan melirik sinis ke arah Benja.

Dadaku masih bergemuruh hebat akibat kejadian barusan. Benja gila. Tak pernah seumur hidupku tengkukku dipegang kencang seperti barusan. Mana ini di siang bolong lagi. Katanya dokter dan terpelajar. Tapi etikanya tidak mencerminkan seperti itu. Lalu kembali ke Oim. Aku harus menjawab apa ya? Kulirik Bi Jayko. Ia menyipitkan matanya aneh padaku. Apa coba maksudnya?

"Bunda ...." Panggilan Oim membuatku tersadar.

"Eh iya!" sahutku terkejut. Huaaa aku benar-benar bingung sekarang.

"Jadi Bunda nggak jemput Oim karena ada Papinya Dea ya?" tanya Oim lagi.

Aku mengerutkan dahi mendengar pertanyaan anak kecil ini. Kenapa dia bisa sampai bertanya seperti itu coba? Aku harus menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Oim. Justru Benja itu penggagal rencanaku. Seharusnya aku tidak berada di sini bersamanya.

"Nggak kok. Tadi itu, Bunda ...."

Tiba-tiba kalimatku terpotong! "Iya. Maafin, Om, ya. Tadi Om cari alamat Bunda Oim. Untung ketemu sama Bunda. Berarti harusnya sekarang jadwal Bunda jemput Oim ya?"

Mataku melotot melihat sosok Benja yang mendadak berdiri di sampingku dan dengan senyum ramah menjijikkannya itu ia berani mengajukan pertanyaan pada keponakanku!

Oim mengangguk antusias. "Iya. Setiap Oim berangkat dan pulang sekolah harusnya Bunda yang jemput Oim. Biasanya Bunda nggak bisa jemput Oim karena ada urusan, makanya kadang digantiin Mama, Papa, atau Bi Jayko."

Ya Allah, kenapa Oim malah membeberkan hal tersebut pada Benja? Benja itu masih abu-abu soal Oim! Jantungku kembali berpacu cepat. Apakah rahasiaku akan diketahui oleh dirinya lagi? Aaaaah kenapa sih kenapaaaa?

Kulirik Benja takut. Bisa kusaksikan ada senyum seringai iblis tercetak di wajahnya. Bahkan dalam pandanganku, aku bisa melihat dua buah tanduk muncul dari kepalanya. Tidak tidak. Jangan sampai semua hal tentang diriku diketahui Benja. Apalagi Oim bilang bahwa aku selalu menjemput dan mengantar Oim sekolah. Pasti Benja akan mengorek lebih dalam lagi soal pekerjaanku.

"Mama papa? Oh berarti Oim punya mama papa selain Bunda?" tanya Benja lagi.

Aku pun melirik Oim. Oim memperhatikanku. Seketika matanya membulat dan ia menepuk jidatnya kemudian menutup mulutnya dengan tangannya. Sepertinya Oim mengerti maksudku. Meskipun perjanjian kami telah gugur, bukan berarti perjanjian itu benar-benar berakhir kan? Walaupun reaksi Oim cukup berlebihan dengan terus menutup mulutnya. Aku ingin menegurnya, tapi daripada tambah ribet aku memilih diam. Kembali kuberi kode dengan menggelengkan kepalaku pada Oim agar tak menjawab pertanyaan Benja. Oim menganggukan, tapi ....

Cita-cita : MENIKAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang