1

31.5K 2.2K 90
                                    

"Bun, pokoknya nanti beliin Oim mainan loh. Bunda Qinsy udah janji sama Oim tadi," tegur keponakanku yang satu ini. Ya ia terus mengoceh sepanjang perjalanan dari rumah sampai detik ini.

Aku mengacak-acak rambutnya gemas. "Iya, Oim. Pokoknya nih nanti pas ketemu teman-teman Bunda, Oim anggap aja Bunda itu kayak Mama. Oke?! Oim juga jangan banyak ngomong. Iyain aja apa kata Bunda. Kalau ditanya sama teman Bunda bilang aja mau tahu banget deh. Dengar?! Kalau semua lancar, Oim minta seribu mainan juga Bunda jabanin," ujarku meyakinkan.

Keponakanku menyipitkan matanya padaku seolah tidak percaya. Ia terus mengemut lolipopnya di sampingku.

"Seribu mainan? Yakin? Bunda aja masih ada hutang 10 mainan loh sama Oim. Sama yang sekarang jadi 11. Tapi Oim masih sabar nunggunya," bantah Oim sambil mengerucutkan bibirnya.

Aku menyengir. "Oim, tunggu jualan Bunda laris ya. Bunda lagi ngumpulin duit ini untuk endorse artis buat bisnis Bunda. Nanti kalau balik modal, Bunda langsung bayar semuanya. Janji!" kataku serius sembari mengacungkan jari manis dan tengahku menjadi huruf V.

Oim pun melihat jam di tangan kirinya. "Harusnya Oim les matematika, Bunda. Kalau ketahuan Nek Ita pasti Oim kena marah. Oim selalu dibilangin jangan jadi kayak Bunda Qinsy yang masa depannya nggak cerah akibat malas sekolah."

Ya Tuhan, kenapa sih keponakanku yang satu ini kata-katanya selalu menohok hati terdalamku? Bita juga sama saja. Selalu menjejal Oim tentang keburukanku di masa lampau semasa sekolah. Ia selalu bilang jangan tiru Bunda Qinsy karena dia pemalas, jarang buat PR, kerjanya berantem, selalu ranking pertama dari belakang. Argh! Ya memang sih tidak ada yang bagus dari hal itu, tapi ketika diungkit tetap saja menyayat hati.

Sekarang aku sedang di jalan menyetir menuju pertemuan dengan teman-teman SMA-ku. Atau yang biasa kita sebut reuni. Ya setelah tujuh tahun akhirnya ada segerombolan teman seangkatanku yang berniat mengadakan reuni. Bahkan Ogil—sahabat terdekatku semasa SMA menjadi salah satu panitianya. Dia lah yang memaksaku agar ikut reuni. Padahal jujur, aku ogahnya setengah mati.

Ya bagaimana tidak. Reuni itu hanyalah ajang pamer-pameran kesuksesan. Sedangkan, aku jauh dari kata sukses. Mungkin kalau aku ceritakan seberapa mirisnya hidupku sekarang, kalian semua akan tertawa. Ya hidup Alqinsyza Yatardi tidaklah seperti masa SMA yang populer dan banyak pengikut.

"Iya, Oim. Maaf ya udah ganggu waktu les Oim. Sesekali aja kok. Jangan kasih tahu Nek Ita sama Mama ya kalau Bunda ngajak kamu bolos sekarang." Nek Ita adalah Bita yang sampai detik ini masih mencerewetiku kehidupanku.

"Yang penting ada dp-nya, Bunda."

Aku mendelik melihat Oim. Mataku membesar. "Bukannya dp udah Bunda kasih? Tuh permen di mulut Oim apaan?!" Nadaku setengah tinggi.

Kadang kesal juga sama Oim. Ya namanya Ibrohim Byarto kelas 2 SD. Panggilannya Oim. Usianya tujuh tahun. Anak dari pasangan Divina Yatardi dan Rega Byarto. Ya Kak Divi adalah kakak kandungku yang hidupnya sangat berbeda jauh dariku. Ia sukses begitu juga dengan suaminya. Usianya di atasku delapan tahun. Ya rentang usia yang cukup jauh memang. Maka dari itu keponakanku sudah besar seperti ini.

Oim menghela napas. "Bunda, ini dp kan karena Bunda ngajak bolos. Tapi belum dp untuk nyuruh nurutin maunya, Bunda, loh!" Ia berkata sambil memelototi mataku dan menunjukku menggunakan lolipopnya.

Aku meliriknya sinis. Sebenarnya siapa sih yang mengajarkan sifatnya jadi penodong seperti ini? Setahuku Kak Divi mau pun Mas Rega tidak begini-begini amat sikapnya.

"Iya iya. Gampanglah," ujarku kesal.

Wajah Oim yang tadinya murung kembali ceria. Ia juga kembali mengemut lolipop sebagai dp-ku. Untung dia masih kecil. Coba saja kalau gede, pasti habis aku.

Cita-cita : MENIKAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang