10

17.6K 1.7K 58
                                    

Mefra Agustryan. Nama yang sampai sekarang masih kuingat betul. Kakak tingkat di atasku setahun. Anak IPS. Sosok pria nakal yang membuatku berkelana akan kejamnya Jakarta. Pria yang membuatku mendapatkan gelar The Queen of Science 37 sampai aku dikenal oleh seluruh anak SMA di Jakarta pada masanya itu. Ia juga yang menyemangatiku bahwa manusia harus hidup bebas dan tidak boleh diatur-atur karena hidup cuma sekali.

Hanya setahun kami sering pergi bersama. Setiap pulang sekolah, ia pasti mengajakku nongkrong. Ya aku akrab dengannya saat kelas dua dan berpisah ketika kenaikan ke kelas tiga. Ya ia harus melanjutkan pendidikannya. Ia tidak bilang sih mau ke mana, tapi di situlah pertemuan terakhir kami.

Kabarnya hilang bagai ditelan bumi. Ya aku sih biasa saja ya dengan kehadirannya dulu. Bang Mefra memang baik sekali, tapi aku tidak begitu suka dengannya karena ia suka menato tubuhnya. Aku masih ingat jelas di punggungnya ada tato sayap besar. Ya ada suatu kejadian di mana aku tak sengaja melihat tubuh bagian atasnya polos. Dulu pakaiannya selalu gombrong-gombrong ala anak metal. Tapi di luar dugaanku sekali ketika bertemu sekarang, ia malah memakai jas dan terlihat sangat rapi.

Aku jadi teringat kata-kata Fania ketika reuni. Ia bilang bahwa Bang Mefra adalah seorang produser! Astaga, semakin kukencangkan kemampuanku dalam mendorong motor ini. Jangan sampai Bang Mefra berhasil mengejarku. Untungnya, ketika aku menoleh ke belakang, sosoknya sudah tak tampak mengejarku lagi.

"Bunda tuh ngapain sih? Dorong motornya jangan kencang-kencang lah. Kalau Oim jatuh gimana?" tegur Oim padaku dengan tatapan super duper sinisnya.

Ya aku sampai berlari sekencang mungkin sambil mendorong motorku. Ya bagaimana lagi, aku itu dari dulu selalu menghindar jika berhubungan dengan orang yang ada di masa SMA. Dan Bang Mefra cukup berperan penting dalam masa SMA-ku.

"Ya Oim nggak akan jatuh kok. Kan Bunda udah suruh Oim pegangan yang kencang," sanggahku.

Kini aku sudah melemah. Tenagaku sepertinya sudah menipis. Keringat terus mengucur di tubuhku. Kenapa sih nasibku sial melulu? Lelah juga menghindar dari Bang Mefra. Aku sangat hapal dengan karakternya. Ia akan mengejar apa pun yang ia mau. Sikapnya itu berapi-api. Bahkan ia sangat berani dengan siapa pun. Aku tahu ia adalah orang kaya. Dulu saja ketika di sekolah, dia dengan lantang melawan siapa pun yang mengusik kenyamanannya termasuk para guru-guru. Bi Ita sangat tidak suka sekali dengannya. Namanya selalu dibawa jika aku di sidang di rumah karena kelakuan onarku.

"Lo ngapain lari-lari gitu sih, Qin?"

"Aaaaaa!" teriak Oim kencang karena motor yang aku pegang hampir saja terlepas dari tanganku. Tapi aku segera menahannya. Oim seperti biasa langsung menatapku dengan tatapan menyeramkannya. Bahkan napasnya naik turun melihatku. Dalam bayanganku seperti ada asap keluar dari telinga maupun hidung Oim. "Bunda! gimana sih?!" pekik Oim marah.

Kupasang wajah menyesalku. Aku pun sudah berhenti mendorong motorku. "Maaf ...." Hanya itu yang bisa kuucapkan pada Oim. Oim hanya diam dan kembali menatap ke depan dengan wajah yang tak henti-hentinya terlipat dari tadi.

Secara otomatis kini mataku mengarah ke pria yang sedang duduk di dalam mobil sedang melihatku polos dengan kondisi kaca terbuka lebar. Mobilnya berhenti tepat di samping motorku. Aku pun mengedarkan pandanganku sebentar. Mobil dan motor banyak berlalu-lalang. Lalu aku melihat ke belakang. Ternyata sudah lumayan jauh juga ya aku mendorong motor ini.

"Lo ngapa lari sih?" tanyanya lagi dan membuatku melihatnya.

"Lagian lo ngapain di sini?" tanyaku ketus.

"Ya emang gue tinggal di sini kan sekarang. Emang kenapa?" tanyanya balik. Hah? Tinggal di sini?

"Maksud gue, lo ngapain nyamperin gue?"

Cita-cita : MENIKAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang