15

15.6K 1.9K 212
                                    

Apresiasilah bacaan ini dengan vote dan komen yang banyak ya :))

Happy reading!

-----------------------------------------------------


Aku terus berlari kencang dengan derai air mata yang tak berhenti turun dari pelupuk mataku melewati lorong-lorong rumah sakit. Kenapa sih aku mesti bertemu dengan dua pria di masa laluku? Selama hidupku, aku tak pernah menduga akan berurusan dengan mereka lagi. Pokoknya aku tak mau bertemu dengan mereka berdua lagi! Tekadku dalam hati kuat.

"Qinsy!" Sial! Tanganku tertangkap oleh cengkraman seseorang dan aku sudah menebak siapa orang itu.

Derap lariku otomatis terhenti. Napasku naik turun saking emosinya. Kepalaku menoleh ke orang itu dan menatapnya sadis. "Apa sih, Bang?! Lepasin deh!" bentakku kasar.

"Lo kenapa sih?" tanyanya bingung. 

Oh Tuhan! Kenapa sih Bang Mefra itu dari dulu tidak berubah? Dia itu selalu telat paham. "Lo nggak sadar kesalahan lo?!" marahku lagi.

"Kesalahan gue apa coba? Gue nggak tahu ya kalau lo mau minta maaf ke Benja. Lo mendadak banget, Qinsy. Harusnya kan lo bilang kalau lo mau minta maaf sama dia." Ia tak merasa bersalah sama sekali. Tangan kekarnya masih memegang lenganku kencang. Alisnya saling tertaut menatapku heran.

Kuputar bola mataku ke atas. "Kita itu berhenti di depan bilik tempat Benja dirawat tahu nggak. Gue pikir kan Benja masih ada di dalam. Lagipula gue perlu bilang ya sama lo kalau gue mau minta maaf sama Benja?" Nada bicaraku sudah tak ada lembutnya sama sekali terhadap Bang Mefra.

Tiba-tiba Bang Mefra melepas pegangannya dariku. Wajahnya langsung berubah lesuh. Sepertinya ia mulai kesal padaku. "Harusnya lo bisa mikir lah kalau itu artinya Benja udah nggak di bilik. Lo nggak ingat kalau gue udah bilang Benja udah sadar? Bilik itu hanya untuk pasien darurat. Gue juga kaget lihat lo minta maaf dan bilang gitu soal semuanya termasuk bau ketek lo. Lagipula gue udah nepuk bahu lo juga ya, Qin. Tapi lo malah ngomong terus."

Air mataku kembali turun. Bang Mefra itu menyebalkan sekali. Ya aku tahu, ini memang kecerobohanku. Apalagi begitu aku menyadari bahwa di sekitar kami tadi selain keluarga di dalam bilik masih banyak orang di sekitar situ. Mana suaraku juga kencang. Ya seharusnya aku tidak menyalahkan Bang Mefra. Tapi tetap saja aku kesal dan aku bingung harus melampiaskan kemarahanku ini pada siapa. Mana dia barusan menyebut bau ketekku segitunya. 

"Terus kalau lo udah tahu Benja nggak di bilik, kenapa lo ikut masuk ke ruang pasien?" tanyaku lagi masih tak terima pembelaannya.

Raut wajah Bang Mefra benar-benar masam sekarang. Ia mengusap rambutnya ke belakang. "Begitu Benja sadar, gue langsung nyamperin lo ke toilet, Qin. Setelah itu gue nggak lihat lagi Benja ke mana. Lagipula lo nggak sadar kalau elo yang duluan jalan? Kita berhenti di depan bilik Benja juga karena elo yang berhenti. Gue mah ngikut aja. Eh tiba-tiba lo nunduk gitu di depan orang-orang minta maaf sama Benja. Kenapa gitu sih, Qinsy?"

Wajahku kembali mewek. Kurundukkan kepalaku. "Gue panik, Bang ...." Nadaku melemah pada akhirnya.

"Tapi lo nggak harus minta maaf kayak tadi lah ke Benja," ujarnya ketus.

Kuangkat wajahku menatap Bang Mefra yang terlihat sangat kesal. "Gue yang buat dia pingsan, Bang. Lo tahu nggak sih seberapa ngerasa bersalahnya gue sama dia karena bau ini? Gue takut dia kenapa-kenapa. Gue tadi juga kaget pas dengar suara tirainya kebuka. Itu semua refleks ...."

Bang Mefra menghela napasnya panjang. "Bukannya gue udah bilang kalau ini bukan salah lo? Dia aja yang terlalu lemah, Alqinsyza ...," ujarnya geram.

Cita-cita : MENIKAH!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang