08 • Siaga Satu, Mika

238 34 22
                                    

Mika tidak tahu jika perusahaan yang dia apply surat magang adalah perusahaan di mana Bemi bekerja. Menyesal? Tentu saja tidak. Ini adalah sebuah keberuntungan. Lebih tepatnya, Mika menyebutnya sebagai takdir. Kalau boleh jujur, Mika merindukan kakak kesayangannya itu. Sudah lama sekali sejak mereka terakhir bertemu. Ada kata maaf yang belum sempat dia ucapkan ketika pindah dulu. Itu sangat mengganggunya hingga sekarang.

Mika pikir, pertemuannya di daerah Nol Kilometer beberapa hari lalu hanya kebetulan. Namun, ternyata pemilik semesta begitu baik padanya. Dia masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang pernah diperbuat pada masa lalu. Meskipun kemarin harus dikejar-kejar banci dulu, tetapi setidaknya ada hikmah dibalik semua itu. Karena kata Ibu Kartini, habis gelap terbitlah terang. Jadi, habis dikejar banci terbitlah Bemi.

Aduh, Mika bahagia sekali hari ini.

"Kenapa bengong? Kerjaan banyak jadi jangan cuma melongo nggak jelas!"

Angan indah Mika tentang pertemuannya dengan Bemi mendadak sirna. Digantikan dengan ekspresi garang wanita itu yang kini menatapnya. Kalau begini, Mika jadi ingat Kak Ros di serial kartun Upin dan Ipin. Mirip sekali dengan Bemi sekarang. Padahal, tadi Mika tengah berbunga karena tiga bulan ke depan akan berada di sini. Namun, sepertinya Bemi tidak akan membiarkannya merasa bahagia walau sebentar.

"Nih kerjain!" perintah Bemi bersamaan dengan tangannya menyodorkan flashdisk.

Mika hanya menatap Bemi sembari merespon dengan kerjapan mata. Tuh, kan, sudah dibentak lagi. Sepertinya dia bisa kurus mendadak jika setiap hari begini.

"Kenapa masih bengong?"

"Aduh, Mi, jangan galak-galak kenapa, sih? Anak orang loh. Baru juga hari pertama masuk." Eksa menyela sembari menghentikan aktivitas mengetiknya.

"Gue nggak peduli!"

"Pak Januar denger entar."

Mika mengangguk setuju dengan ucapan Eksa. Jika Pak Januar tahu, Bemi juga yang akan kena imbasnya. Secara Mika baru pertama kali masuk dan belum mengerti apa yang harus dia kerjakan untuk membantu Bemi.

"Bodo!" ketus Bemi. Dia kembali memusatkan atensinya pada Mika yang masih diam. "Tunggu apa lagi, sih? Udah, kerjain!"

"Tapi Kak, aku harus ngerjain di mana?" tanya Mika polos. Dia hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menatap bingung pada flasdisk berwarna putih yang tadi disodorkan oleh Bemi.

Ini hari pertamanya. Tidak ada meja kosong yang ada di ruangan itu, pun dengan komputer yang tidak digunakan. Lantas ketika Bemi menyuruhnya dengan penuh kekesalan, Mika hanya bisa pasrah.

"Bawa laptop nggak?"

Mika menggeleng pelan, yang membuat Bemi menghela napas panjang. "Ya udah, pakai komputer gue dulu. Gue mau ke bank," kata Bemi melunak.

"Bener, Kak?" Mika bertanya dengan raut wajah semringah.

"Iya."

"Mm, apa aku antar Kak Bem aja ke bank?"

"Gue bisa sendiri!" sahut Bemi kembali ke mode galak.

Oke, ini semua cukup untuk menjadi awal jika ke depan tidak akan semulus yang Mika bayangkan. Wajah saja untuk menjadi mulus butuh banyak modal, apa lagi meluluhkan Bemi? Sepertinya Mika harus mengerahkan seluruh tenanganya. Menghadapi sosok manis yang telah lama dia rindukan.

🍂🍂🍂

"Kamu udah kenal sama Mbak Bemi emangnya, Mik?"

Mika mengangguk mantap sembari memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. "Dia tetangga gue di Jakarta dulu."

"Oh." Husni mengangguk-angguk mengerti. "Tapi kok aneh, sih? Kok dia kayaknya benci banget sama kamu?"

Mengedikkan bahu, Mika menggeleng pelan. "Nggak tahu tuh. Buas banget."

Ucapan Mika tersebut membuat Husni memicing curiga. "Hayo kamu pernah apain dia?"

Mika berhenti mengunyah, lantas menatap Husni sembari mengerjap. "Gue apain emang? Nggak gue apa-apain, kok."

Mika ingat semua hal yang pernah dia perbuat. Sangat ingat hingga dia merasa malu dengan semua kenalakannya selama masih kecil. Namun, dia tidak ingin menceritakannya pada Husni. Cukup tidak mengungkit semuanya dan Mika berusaha memperbaiki semampunya.

"Ngapusi. Aku nggak percaya." [Bohong. Aku nggak percaya.]

"Beneran gue nggak bohong."

"Loh," Husni mengerjap. "Kowe ngerti omonganku?"
[Kamu paham ucapanku?]

Mika mendengkus. "Ya elah, Ni, nggak semuanya gue nggak ngerti juga kali. Dikit-dikit gue tahu, meskipun gue nggak bisa ngomong pakai bahasa Jawa."

"Oh." Husni mengangguk lagi. "Eh iya, terus kamu milih magang di kantor ini juga karena Mbak Bemi, ya?"

"Enggak," Mika meneguk es tehnya sebelum melanjutkan, "gue nggak tahu kalau dia kerja di situ."

Laki-laki tinggi itu jujur dengan jawabannya barusan. Dia memang tidak tahu jika kantor yang sejak lama dia incar untuk kebutuhan magang, adalah tempat yang sama di mana Bemi bekerja. Bukankah itu adalah jalan dari Tuhan yang begitu manis?

"Loh, emang pas masukin surat magang nggak ketemu?"

"Kan, lo yang nganter, gue lagi ada acara waktu itu. Gimana, sih?"

Husni mengerjap, tetapi beberapa detik kemudian cengar-cengir. "Eh, iya ding. Aku lupa."

Mika hanya berdecak, lantas kembali fokus pada makanan padang yang tinggal setengah porsi. Siang ini, Mika dan Husni memutuskan untuk makan di warung padang yang berada tidak jauh dari kantor. Tidak sedikit karyawan yang juga memilih untuk makan siang di sana. Selain harganya terjangkau, menunya banyak dan enak-enak.

Ketika sedang asik makan, Mika tiba-tiba dikejutkan oleh suara Husni yang mendadak heboh. Sialan! Mika hampir tersedak karena suara tidak merdu milik laki-laki sipit itu sangat mengganggu. Untung masih hampir, belum tersedak betulan.

"Mik, Mik!" ucap Husni sambil menepuk-nepuk pundak Mika. "Lihat itu!"

Mendengkus keras, Mika menyingkirkan tangan Husni yang dengan brutal memukul-mukul pundaknya. Enak aja, ini aset sandar-able yang harus dijaga. Jika belum ada yang bersandar sudah dipukuli heboh seperti ini, Mika bisa tekor. Bagaimana jika nanti tidak nyaman lagi untuk dijadikan sandaran? Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika dia … oke, hentikan pemikiran konyol yang tidak masuk akal sama sekali itu.

"Apaan, sih, elah?" tanya Mika kesal.

"Itu loh lihat! Di bangku pojok deket pintu!"

Meskipun kesal dengan tingkah Husni yang lebay, tak urung Mika mengikuti arah pandang laki-laki itu. Di sana, di bangku paling pojok dekat pintu, ada empat orang tengah makan siang bersama.

Iya hanya makan siang, bukan akrobat yang menimbulkan kehebohan. Husni saja yang hiperbola. Namun, yang menjadi fokus Mika adalah dua orang yang duduk di depan Eksa. Yang satu seseorang dari masa kecilnya, yang satu lagi seorang laki-laki.

Entah kenapa, ada sesuatu yang aneh dalam diri Mika setelah melihat Bemi tersenyum bersama laki-laki itu. Sesuatu yang kemudian membuat lidahnya terasa hambar. Berlebihan memang, tetapi tidak ada padanan kata yang pas untuk menggambarkan perasaannya sekarang. Nyatanya, sesuap nasi padang yang dia nikmati tidak senikmat di awal. Terlebih netranya fokus pada satu meja di pojok ruangan.

Ada yang patah, tetapi bukan dahan. Apakah ini yang dinamakan kalah sebelum berjuang?

🍂🍂🍂
.
.
.
.
.
.

Hehehehe

Yogyakarta
6 September 2018

Republished
21 Juli 2024

F A L L ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang