Bemi Oktaviana adalah seorang perempuan yang mampu membuat Mika berdebar. Dia tidak tahu rasa itu muncul tepatnya kapan? Namun ketika melihat Bemi tersenyum ataupun tertawa, ada sesuatu dalam diri Mika yang terasa aneh. Seperti perasaan senang yang membuatnya refleks ikut tersenyum.
Bagi Mika, Bemi adalah sosok kakak yang menyebalkan, tetapi menggemaskan.
Dulu mereka dekat. Tidak ada perseteruan yang berarti. Namun, semua berubah saat malam takbiran sekitar sepuluh tahun silam. Kala itu, Mika dan teman-temannya sedang asyik bermain petasan di area jalan dekat masjid kompleks perumahan. Pada saat yang bersamaan, Bemi dan beberapa temannya sedang berjalan menuju masjid untuk mengikuti persiapan takbir keliling. Mika tidak tahu jika ada Bemi di sana waktu itu. Dengan jahil, dia dan teman-temannya menyalakan petasan di dekat anak-anak perempuan yang baru saja datang. Begitu petasan meledak, kumpulan anak perempuan itu berteriak heboh. Membuat Mika dan teman-temannya terbahak menyaksikannya. Namun, tawa Mika lenyap ketika dia melihat Bemi menangis gara-gara insiden petasan itu. Saat itu juga, Bemi mulai memusuhi dan menjauhi Mika.
"Gue benci sama lo!" Begitu ucapan Bemi yang Mika ingat.
Setelah kejadian itu, Bemi tidak pernah lagi main ke rumahnya. Pun tidak pernah lagi mau menyapa. Oh, poor Mika. Namun, namanya juga Mika. Sepertinya jahil adalah sesuatu yang sudah melekat pada dirinya.
Pernah suatu kali, Mika menangkap katak di depan rumahnya. Kebetulan pada waktu yang sama, Bemi sedang menyiram tanaman di halaman rumah. Melihat Bemi sedang asyik bersenandung sambil menyiram tanaman, membuat Mika tersenyum jahil.
"Kak Bembem!" teriaknya.
Bemi menoleh, kemudian berucap ketus, "Apa?"
"Aku punya cokelat, nih, buat Kakak." Mika tersenyum lebar.
"Bodo!"
"Ih, beneran! Nih, aku lempar. Siap-siap tangkap, Kak. Satu ... dua ... tiga!"
Kemudian melayanglah katak yang tak berdosa itu ke arah Bemi. Membuat gadis itu menjerit histeris saat katak tersebut mendarat di bajunya. Refleks dia berteriak, "Mika sialan! Mami tolooong! Aaa!"
Entahlah, apa maksud Mika menjahili Bemi lebih gencar setelah insiden petasan itu.? Seharusnya dia tahu, jika semua kelakuannya hanya akan membuatnya semakin minus di mata Bemi. Namun apa daya? Dia hanya anak SD yang tidak berpikir sampai sejauh itu. Sampai akhirnya, Bemi benar-benar menjauh dari Mika. Apalagi ditambah insiden ular waktu itu.
Tentu saja Mika sedih. Bemi adalah perempuan pertama yang bisa membuat sesuatu dalam dirinya berdesir. Padahal waktu itu dia masih mengenakan seragam putih merah, tetapi memang itu yang Mika rasakan. Dulu dia menganggapnya sebagai cinta monyet belaka. Namun, meski waktu terus berjalan, rasa itu tidak pernah hilang. Bahkan ketika Mika harus pindah rumah saat dia menginjak kelas delapan, rasa itu masih tetap ada.
Sampai beberapa tahun berikutnya, tepatnya seminggu yang lalu, Mika kembali dipertemukan dengan Bemi. Bukankah ini semua adalah takdir?
Mika tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia akan terus berusaha untuk mendapatkan hati Bemi. Seperti ucapan yang sering didengarnya, batu karang akan terkikis jika terus-menerus terkena air laut, begitu juga dengan Bemi. Mika yakin jika suatu saat nanti sosok itu akan luluh.
🍂🍂🍂
"Heh!"
Mika tersadar dari lamunan saat suara Bemi menelusup masuk ke dalam telinganya. Kedua sudut bibir laki-laki itu tertarik, membentuk senyuman tipis. Atensi yang tadi tertuju pada layar komputer, kini dia alihkan. Menatap lekat manik cokelat kopi milik wanita yang sedang berdiri di depannya.
"Senyam-senyum, senyam-senyum. Gigi lo kering baru tahu rasa!"
Bukannya marah, Mika justru terkekeh pelan. "Apa sih, Kak? Jangan gitu dong, nanti aku nggak kece lagi."
"Ya, syukur. Gue bahagia "
"Jahat." Mika berucap demikian masih dengan senyum yang bertahan.
"Bodo, Mik, bodo!" kata Bemi sambil merapikan berkas-berkas anggaran.
"Jangan panggil, Mik, dong."
Bemi menghentikan aktivitasnya. "Terus apa? Keling? Iya, sih, gitu cocok. Secara lo nggak berubah jadi putih kayak lele albino. Dari dulu sampai sekarang masih aja sama, dekil."
Dekil, keling, item. Tiga kata itu sudah sering sekali Mika dengar sejak dulu. Jadi, jika Bemi ikut mengatainya demikian, itu bukan masalah besar. Mika sadar, kok, kulitnya tidak seputih kulit Bemi, Eksa atau Husni. Bisa dibilang, kulitnya sedikit lebih gelap. Sebutan kerennya itu eksotis. Selama hampir dua puluh satu tahun eksistensinya di dunia ini, Mika tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Semua yang melekat pada dirinya adalah pemberian Tuhan.
"Daripada bengong nggak jelas, mending lo anterin gue sekarang!" perintah Bemi yang tidak disangka-sangka oleh Mika.
"Ke mana, Kak?" tanya Mika semangat.
"Ke bank."
"Ke bank lagi? Tumben minta ditemenin?" Itu suara Eksa yang baru saja kembali dari ruangan Pak Januar.
"Iya, mau setor. Terus duitnya banyak, nggak bisa sendirian." Bemi menjawab cuek.
"Kak Bemi mau minta antar ke mana pun mah, ayok! Apalagi mau ke KUA, langsung cus sekarang juga!"
Kemudian satu gepok uang yang Bemi pegang mendarat mulus di lengan Mika.
🍂🍂🍂
"Kak Bemi nggak haus gitu?"
Pada siang yang begitu terik ini, Mika dan Bemi harus rela terdampar di sebuah bengkel motor. Padahal mereka belum sampai di bank, tetapi apesnya ban motor bocor karena melindas sesuatu. Jadilah keduanya terduduk sembari mengibas-ngibaskan tangan ke area wajah. Panasnya luar biasa.
"Nggak."
Dih, ketus! Dalam hati, Mika mencibir. Dia yakin jika wanita itu berbohong. Terlihat jelas dari peluh yang menetes di kening. Merogoh saku celananya, Mika mengambil dua lembar tisu yang sempat dia simpan di sana. Ini bukan bermaksud sok romantis seperti sinetron, sih.
"Nih." Mika mengangsurkan dua lembar tisu tersebut, yang justru membuat Bemi terdiam. "Kok, diem? Pengin aku yang ngelap, ya?"
Karena Bemi masih saja diam, Mika pikir wanita itu ingin terlihat romantis dengan dibersihkan keningnya memakai tisu. Namun, ternyata Mika salah perkiraan. Baru saja tangannya hendak menyentuh kening, Bemi lekas menepis. Membuat tangan Mika terantuk helm yang dipangkunya.
"Jangan pegang-pegang! Gue bisa sendiri!"
Padahal Mika belum menyentuh sama sekali, tetapi sudah terkena semprot. Memang, ya, sepertinya ketidaksukaan Bemi padanya semakin menjadi.
"Kalem, Kak," kata Mika sambil mengusap punggung tangannya yang terantuk helm. "Galak amat, dah."
"Spesies macem lo itu wajib digalakin!"
"Dih, mana bisa memutuskan kayak gitu? Emang aku kenapa? Kan, ganteng." Mika berucap dengan percaya diri.
"Ganteng kalau dilihat dari ujung pantai selatan."
"Ya, nggak kelihatan dong, Kak. Kan, di sana penuh dengan pegunungan."
"Ngejawab mulu heran!" kesal Bemi.
Mika tergelak. "Ya, karena Kak Bemi ngajakin ngomong, aku wajib jawab. Emang mau dikacangin? Berasa ngobrol sama angin?"
"Bacot lo!"
Lagi, Mika tergelak. Bemi terlihat lucu jika sedang seperti ini.
🍂🍂🍂
.
.
.
.
.Yogyakarta
13 September 2018Republished
21 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
F A L L ✓
RomanceCOMPLETED (Republished/Dalam tahap revisi) Awalnya, hidup Bemi baik-baik saja. Pekerjaan, pertemanan, dan percintaan, semuanya tidak ada masalah. Status lajang yang dia sandang pada usia 25 tahun tidak menjadi sebuah beban, melainkan kebebasan. Namu...