Ini masih pertengahan minggu, tetapi Bemi sudah penat di kantor. Rentetan angka yang ada di layar komputer mendadak membuatnya sakit mata. Belum lagi Pak Januar yang dengan kampretnya menyuruh untuk mencari data keuangan tahun 2016. Masih mending kalau Bemi kerja dari tahun tersebut, kenyataannya Bemi baru masuk awal tahun 2017.
"Ada yang perlu dibantu, Kak?"
Ini lagi, bocah satu yang hobinya mengacak-acak mood Bemi. Kadang, Bemi ingin amnesia saja untuk sejenak. Supaya dia lupa siapa itu Mika dan segala tingkah menyebalkannya.
"Nggak!" Bemi menjawab cuek.
"Beneran? Jurnal gitu nggak perlu? Ya udah, aku mau bantuin Mbak Eksa."
Bemi yang tadi bertopang dagu sambil sesekali memejamkan mata karena diserang kantuk, kini otomatis langsung on seketika.
"Enak aja main pergi!" Tanpa sadar, Bemi menahan lengan Mika yang kini sudah beranjak berdiri. "Lo bantuin gue! Eksa udah dibantu Husni."
Bukannya menjawab, Mika justru tersenyum. Membuat Bemi mengernyit kemudian berucap, "Apa senyum-senyum? Balik duduk sekarang!"
Di luar perkiraan Bemi, Mika ternyata kembali duduk. Senyum masih saja bertahan di wajahnya, membuat Bemi merotasikan bola mata.
"Kak Bem."
"Apa?" sahut Bemi tidak santai.
"Keenakan, ya?"
Bemi mengerutkan kening, tidak mengerti dengan ucapan Mika. "Apaan sih?"
"Tuh," jawab Mika sembari mengarahkan pandang pada jemari Bemi yang masih bertengger di lengan kiri laki-laki itu.
Sadar jika tindakannya tidak benar, Bemi yang sedikit gelagapan segera menarik tangannya dari lengan Mika.
"Kalau nggak rela aku bantuin Mbak Eksa, bilang aja, Kak," ucap Mika percaya diri.
"Ngomong apa, sih? Daripada lo bicara nggak jelas, nih, input penjualan dari tanggal satu sampai sepuluh!" perintah Bemi.
"Dih, tadi bilangnya nggak ada yang bisa dibantu," ledek Mika.
Bemi tidak menghiraukan ucapan laki-laki itu. Dia kembali fokus pada layar komputer setelah menyerahkan satu bendel kertas untuk dikerjakan oleh Mika. Sebenarnya Bemi merasa aneh dengan sikapnya yang mendadak begini. Apalagi ditambah dengan rasa panas yang kini menjalar ke bagian wajah.
Fokus, Bem! Fokus!
Menggeleng pelan, Bemi mengenyahkan segala pikiran tidak jelasnya. Benar dia harus fokus, kalau tidak nanti semuanya bisa kacau. Biarlah wajahnya terasa agak panas, nanti juga dingin sendiri karena air conditioner disetel pada suhu enam belas derajat. Hal paling penting untuk saat ini adalah jangan menoleh ke samping, atau nanti rasa campur aduk itu akan kembali membara.
Namun, sial! Baru saja berniat untuk fokus dan menganggap eksistensi Mika tidak ada, Bemi justru dikejutkan dengan lengan yang dicolek beberapa kali. Menoleh cepat, wanita itu langsung memberikan ekspresi galak. Didapatinya laki-laki tinggi itu tersenyum kalem sambil menggeser sebungkus cokelat bar ke arahnya.
"Buat naikin mood," kata bocah kelebihan kalsium itu masih dengan kedua sudut bibir yang tertarik.
Rasanya Bemi ... undefined!
🍂🍂🍂
"Duh, kok, pada cemberut ini gimana, Mbak?"
Bemi melirik sebentar pada Husni, lantas kembali fokus pada makan siang yang kini tengah dia santap. Istirahat kali ini, Bemi dan Eksa tidak keluar kantor. Mereka hanya beli nasi padang dibungkus, itu saja berbekal nitip pada Husni.
"Masa aku kudu joget gitu biar Mbak-mbak ini pada ketawa?"
Lagi, Bemi hanya melirik sekilas. Dia malas sekali menanggapi ucapan Husni. Sekarang ini, mood-nya sedang tidak bagus.
"Kayaknya emang aku kudu joget."
Husni berdiri dari duduknya, yang sontak membuat Bemi mendongak.
"Ngapain, sih, Hus? Ganggu pemandangan tahu nggak?"
Bemi tersentak, begitu juga dengan Husni yang kini mematung. Perlahan, Bemi menoleh pada Eksa yang sudah menelungkupkan kepalanya di atas meja. Wanita itu tidak menyentuh makanannya sama sekali, terlihat dari satu bungkus nasi padang yang masih utuh.
"Kamu apain, Hus?" tanya Bemi pelan yang disambut gelengan kepala oleh Husni.
"Nggak aku apa-apakan, Mbak. Suwer!" jawab Husni tanpa suara sembari mengangkat dua jarinya yang membentuk tanda V.
Bemi berdecak. "Kenapa sih, Sa?"
"Nggak tahu!"
Ada banyak pertanyaan yang hinggap di kepala Bemi terkait perubahan sikap Eksa. Namun, baru saja dia hendak bertanya, sebuah suara lebih dulu menginterupsi.
"Aloha!"
Itu suara Mika.
"Dari mana, Mik?" tanya Husni.
"Ada, deh," jawab Mika sok misterius.
"Ngapain pake balik segala? Lebih tentram kalau nggak balik sekalian!" seru Bemi galak. Untung saja, sih, karyawan lain sedang istirahat, hanya tersisa empat orang di ruangan.
"Tega bener." Mika berucap sembari mendudukkan tubuhnya di kursi samping Bemi. Tangannya sibuk mengambil sesuatu dari kantong plastik yang dia bawa. Sesaat kemudian, dia menyerahkannya pada Bemi.
"Nih, mending minum dulu," kata Mika sembari menyerahkan satu botol minuman isotonik dingin. "Biar nggak panas mulu."
"Lo ngatain gue naik tensi?" Bemi menanggapi tidak santai.
Mika menghela napas pelan sembari menggeleng. "Salah mulu perasaan. Ya udah, kalau nggak mau."
Setelah itu Mika berdiri, beranjak untuk menghampiri Eksa sembari membawa minuman isotonik dingin sekaligus kantong plastik berisi makanan. Melihatnya, Bemi hanya melongo. Ada angin apa itu bocah mendadak membeli jajan dan memberikannya pada Eksa? Bukannya tadi untuk Bemi? Terus, kenapa begini?
Ah, semprul! Namun … tunggu! Kenapa Bemi jadi riweh sendiri? Kenapa dadanya terasa aneh sekarang? Duh, Bemi pusing!
🍂🍂🍂
.
.
.
.
.Yogyakarta
2 Oktober 2018Republished
21 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
F A L L ✓
RomanceCOMPLETED (Republished/Dalam tahap revisi) Awalnya, hidup Bemi baik-baik saja. Pekerjaan, pertemanan, dan percintaan, semuanya tidak ada masalah. Status lajang yang dia sandang pada usia 25 tahun tidak menjadi sebuah beban, melainkan kebebasan. Namu...