Bagi Mika, Bemi adalah orang pertama yang bisa membuatnya berdebar. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, perasaannya masih sama. Kadang, Bemi memang menyebalkan. Sering mengatainya keling, item, buluk, dekil, dan umpatan-umpatan lain yang membuat Mika ingin menyumpal telinganya. Namun, Mika sekarang sudah kebal dengan semua itu. Tidak peduli dengan semua ejekan Bemi, toh, dia memang terlahir dengan kulit tidak seputih Husni.
Mungkin Bemi tidak akan anti pada dirinya jika dulu dia tidak bertindak sejauh itu. Well, nostalgia saja pada insiden ular, katak, dan petasan. Cuma, bagaimana, ya? Mika masih anak kecil waktu itu. Tidak memikirkan jika apa yang dia perbuat akan semembekas itu pada Bemi. Lagi pula nasi sudah menjadi bubur. Mika tidak bisa mengulang waktu untuk memperbaiki semuanya, kan? Hal yang bisa dia lakukan sekarang adalah mendapatkan kepercayaan Bemi lagi.
"Lo ngapain nongol di sini? Nggak ada tempat lain apa?"
Sepertinya, perjuangan Mika untuk mendapatkan lagi yang telah hilang tidak akan mudah. Lihat saja orangnya yang sudah buas duluan. Sensi sekali jika Mika ada di sekitarnya. Padahal Mika tidak mengatakan hal yang aneh, hanya mengajak Bagas pergi berlibur ramai-ramai. Apa itu salah?
"Ini tempat umum, Kak." Mika menjawab santai, kemudian beralih ke Bagas. "Bareng aja, ya, Mas? Biar rame gitu."
"Kalian mau ada acara apaan emang?" tanya Bagas.
"Cuma main. Lagian berempat doang, cowok semua lagi."
Mika berharap Bagas mau menerima ajakannya, dengan begitu dia bisa berlibur dengan Bemi. Namun, laki-laki yang lebih pendek darinya itu masih diam. Terlihat menimbang-nimbang ajakan dadakan Mika, yang membuat laki-laki tinggi itu ketar-ketir.
"Boleh juga usulnya."
Helaan napas lega mengudara begitu Bagas menerima ajakan tersebut. Membuat Mika tidak bisa menyembunyikan senyum.
"Kalau gitu, nanti aku ajak yang lain juga. Kabarin lagi aja, ya" imbuh Bagas.
"Oke siap, Mas Bagas. Nanti aku kabarin as soon as possible." Mika menjawab semangat yang membuat wajah Bemi makin keruh.
🍂🍂🍂
"Eh, gue ada kabar bagus, nih!"
Mika tersenyum lebar sambil berjalan ke arah bangku di mana teman-temannya sedang berkumpul. Malam ini mereka sedang berada di foodcourt kampus. Menyempatkan untuk berkumpul di tengah kegiatan magang yang lumayan menguras waktu dan tenaga.
"Kenapa, Ming? Dateng-dateng udah cengar-cengir macem kuda."
Ucapan Wildan membuat Mika mendengkus pelan. "Lo abis makan cabe berapa kilo, sih, Wil?"
"Dia nggak makan cabe juga udah pedes kek disambelin." Jeje menyahut santai.
"Kenapa, Mik?" tanya Husni.
Oke, Mika akan mengabaikan Wildan untuk sejenak. Meladeni sahabatnya yang satu itu hanya berpotensi membuat tensi darahnya naik. Kalau tensinya naik, otomatis dia bisa emosian terus. Kalau emosian terus, nanti dia bisa cepat tua. Aduh, Mika tidak siap kalau tiba-tiba jadi ubanan plus keriput. Kalau keriput, nanti gantengnya hilang bagaimana? Kalau tidak ganteng, Bemi bisa ditikung sama orang lain. Tidak! Mika tidak bisa membayangkannya!
"Gue punya rencana buat akhir pekan ini." Mika berucap sambil senyum misterius.
"Rencana apaan, dah?" tanya Wildan tidak antusias.
"Rencana bagus banget. Jadi, mumpung kita berempat free weekend ini, gue pengin ngajakin kalian ke suatu tempat."
Jeje berdecak. "Muter-muter amat sih ngomongnya? To the point aja susah amat."
KAMU SEDANG MEMBACA
F A L L ✓
RomanceCOMPLETED (Republished/Dalam tahap revisi) Awalnya, hidup Bemi baik-baik saja. Pekerjaan, pertemanan, dan percintaan, semuanya tidak ada masalah. Status lajang yang dia sandang pada usia 25 tahun tidak menjadi sebuah beban, melainkan kebebasan. Namu...