Mulmed : Adriana Lima (Tiara)
--
Aku tidak memiliki apapun untuk dibanggakan, minimal untuk memikat lawan jenisku. Aku hanya hidup untuk menanti hari esok dengan bekerja keras di hari ini. Apa yang kupunya? Sanak yang saling berjauhan, jauh dari tanah kelahiran, memilih hidup sendiri di tanah perantauan. Hingga akhirnya hari itu tiba saat keluargaku menerima pinangannya dan menolak pinangan lainnya. Hingga akhirnya aku menyesal telah jauh melangkah bersamanya.
Aku mengenalnya lebih dari empat tahun, pertemuan pertama kami saat itu dirinya adalah seorang senior. Kami berkuliah di jurusan yang sama, sejauh yang bisa kuingat adalah dirinya selalu baik pada semua orang terkecuali pada wanita. Suatu ketika seorang kawanku berkunjung, dia cukup memikat dengan kulitnya yang putih pucat dan postur tubuh terawat. Bagaikan mata koin, berdekatan namun berbeda. Itulah gambaran singkat tentangku dan temanku. Sebut saja namanya Tiara.
Pendek kata, kami tinggal di satu kamar kost, sehingga tak pelak kami pun akan sering bersua di kampus. Kemudian tak sedikit para pria mendekat, tak terkecuali seniorku tersebut. Panggil saja Raga. Mereka pun berbondong-bondong menintrogasiku dan mendekat guna ingin diperkenalkan dengan teman satu kost ku tersebut.
Waktu pun berlalu begitu cepatnya, saat aku menginjak perkuliahan di semester lima, Tiara sempat bercerita bahwa dirinya akan memutuskan untuk mengambil cuti sementara lantaran biaya perkuliahan yang kian melangit. Mendengar hal tersebut, sebagai kawan aku hanya bisa memberinya semangat dan doa agar dirinya senantiasa tabah. Itulah kali terakhir pertemuanku dengan Tiara.
--
Sudah tiga tahun aku bekerja di sebuah perusahaan konstruksi milik negara. Sebuah pertemuan yang tak pernah kusangka terjadi hati itu setelah jam makan siang.
"Tiara?"
"hm, tunggu. Aku ingat wajahmu, tapi dimana ya?"
"Aku Banyu, dulu aku kuliah di jurusan teknik."
"Oh, iya. Ya ampun, sekarang kamu kerja disini juga? Udah berapa bulan?"
"Iya, sudah empat bulan. Kamu di lantai berapa?"
"Aku di bagian umum, di lantai dua. Kalau kamu sendiri?"
"Divisi teknik, lantai 5."
"Wah, bisa tiap hari ketemu direksi dong.."
"Enggak juga."
Perbincangan kami pun berlanjut hingga lift berdenting tanda sampai di lantai tujuanku. Kami pun berjanji untuk membuat pertemuan selanjutnya. Beberapa pekan setelahnya aku mendapatkan info bahwa Divisi Produksi telah merekruit beberapa staf tambahan yang telah diseleksi di tingkat proyek, Sebuah keajaiban juga bahwasanya senior yang pernah kusukai..hm tepatnya kukagumi dulu adalah salah satunya, but i dont know, he is Ragan.
Dia masih seperti yang pernah kukenali dulu, pemalu, sederhana, dan pendiam. Cukup berbanding terbalik denganku, namun setidaknya tidak sampai 180 derajat. Hari itu dia berdiri diliputi rasa canggung dengan kemeja biru tua dan celana bahan berwarna khaki, ditambah kartu identitas yang setia bertengger di lehernya. Merasa bahwa aku adalah juniornya, dia pun tak segan untuk menyapaku terlebih dahulu.
Singkat cerita, hubunganku dengan Ragan berjalan penuh liku, maksudku dalam tahap pendekatan untuk keperluan pertemanan maupun profesional kerja. Namun di luar jam kantor, menurutku dia cukup banyak berubah. Setidaknya dari gaya berpakaian dan caranya mengungkapkan pendapat terasa lebih baik dibanding dulu, well it is a good thing.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Kata (COMPLETE-END)
RomansHal terakhir yang pernah kuingat adalah dia pergi untuk kembali bersatu dengan masa lalunya. Tinggallah aku dengan masa-masa yang terlewati tanpa seberkas memori apapun tentang dirinya. Aku tidak pernah benar-benar mengingatnya, tapi satu hal yan...