tanpa judul #5

3.6K 145 3
                                    

Mulmed : Ragan Prawira (Evandro Soldati)

--

"Kamu nggak suka sama Tiara?"

"Nggak juga."

"Terus kenapa pergi?"

"Karena saya masih tahu diri. Ada pak, Tiara, ujung-ujungnya saya hanya akan jadi pengganggu diantara kalian. Saya nggak mau dikasihani, pak."

"Kok kamu jadi bahas masalah tahu diri sih?"

"Ah, udahlah pak. Nggak perlu dibahas lagi."

"Nggak. Aku masih perlu tahu apa yang ada dalam pikiran kamu."

"Buat apa? Pak nggak perlu tahu apa isi pikiran saya."

"Kalau hati kamu?"

"Mending tanya isi hati Tiara aja, yang jelas-jelas suka sama pak."

"Tapi saya nggak suka sama dia."

"Kalau gitu terus terang aja."

"Sudah, sayang." jawaban terakhir pak Revan rupanya bersamaan dengan terbukanya pintu lift, tepat di depanku ada dua orang wanita yang tak kukenal tapi pernah beberapa kali tampak berjalan dengan mbak Nita, oh holy crap.

Aku tak tahu bagaimana menyikapi ini semua, perasaanku campur aduk. Aku bukannya cemburu karena kedekatan pak Revan dan Tiara, jadi jangan salah paham. Tapi ada sebersit perasaan amarah, mungkin karena tadi aku sempat melihat perbandingan sikap yang dipertontonkan didepan mataku sendiri. Mungkin ini bukti dari perkataan mbak Nita yang semula kukira isapan jempol belaka, bahwa Tiara lebih menikmati kedekatannya dengan pak Revan ketimbang mas Ragan.

Lift merangkak perlahan menuju lantai tujuan berikutnya dan mereka berdua pun pergi. Kemudian pak Revan menekan tombol R (artinya Roof).

"Kita ngapain ke roof?"

"Mau bunuh diri."

"Nganggur pak kamu itu."

"Aku frustasi, bukan karena kerjaan. Tapi gegara kamu."

"Kok saya?"

"Iya. Susah ngadepin pemikiranmu yang sempit itu."

"Memang salah saya dimana?"

"Kamu nggak ada salah, kamu benar terus. Percuma juga mau dibantah."

"Kok jadi pak yang ngambek sih?"

"Iyalah saya ngambek. Kamu aja nggak mau jujur, minimal sama diri kamu sendiri."

"Jujur terkait apa?"

"Kamu marah kan lihat Tiara sama saya. Nggak apa-apa kok, saya akan jauhin dia. Jadi nggak usah kamu bawa-bawa masalah kalau Tiara itu lebih cantik daripada kamu. Karena bagi saya nggak seperti itu."

"Oh Man. Kok pembicaraan kita melebar sih pak. Udahlah pak." Pintu lift pun terbuka tepat di lantai 5, dimana ruang kerja ku berada.

Terlambat saudara-saudara, kedua lenganku secara paksa ditarik kembali masuk dalam lift, dan mulailah aksi buka tutup lift untuk beberapa saat hingga menyalalah tombol di lantai 9 secara otomatis, menandakan adanya panggilan ke lantai tersebut.

"Udah nggak usah bawel. Tuntaskan dulu masalah kita, baru kerja." Jawabnya enteng sambil dengan mengotak-atik ponsel.

"Traktir saya kalau gitu. Saya laper habis berantem sama kamu pak."

"Bisakah kata 'pak' dienyahkan? Saya risih dengar kamu panggil aku kaya gitu."

"Terus mau dipanggil apa? Om?"

Tanpa Kata (COMPLETE-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang