Tanpa judul 9

2.2K 118 1
                                    

Aku terbangun dari tidur siang yang tak kurencanakan akibat terlalu lelah menangis. Kamarku terletak di lantai dasar, maklum aku ini anak tunggal jadi rumahku tidak ada lantai atas, selain untuk keperluan menjemur pakaian. Kuraih segelas air putih dan vitamin yang selalu tersedia di meja nakasku. Sambil melirik ke arah jam dinding yang bertengger tepat di atas pintu kamarku, aku pun bergegas membuka kembali ponselku, tidak ada satupun notification yang perlu kuhiraukan.

"Keluar kamu!"

"Mohon maaf, tapi Saya akan tetap disini."

"Orang macam kamu, ndak pantas bersanding sama putriku."

Sekarang sepenuhnya aku sadar, ada sebuah perselisihan yang tengah terjadi di rumahku. Segera aku bergegas untuk keluar kamar dan menyaksikan sendiri perihal kejadian tersebut. Perasaan takut dan khawatir merayapi hatiku dengan sangat cepat, ibarat resapan air di tanah tandus. Aku mengenal dengan pasti bahwa salah satu dari sumber suara adalah papaku, sedangkan satunya....

Mas Revan.

Dia tengah bersitegang dengan papa. Aku tidak berani melerai atau ikut campur dengan pertengkaran mereka, aku masih takut murka kedua orang tuaku. Kali pertama sejak pertemuan kami, mas Revan tampak berapi-api tapi masih sanggup menahan emosi yang sepertinya sudah tertahan di dadanya. Ingin sekali aku memeluknya dari belakang, mengusap punggungnya dan mengatakan bahwa perkelahian ini harus diakhiri karena tidak satu pun mendapat keuntungan. Tapi apa daya, pihak yang tengah berselisih adalah mas Revan dan papa. Aku nggak bisa memilih salah satu diantara mereka.

Mama yang mungkin merasakan kehadiranku di tepian ruang tamu, segera menghampiriku yang mulai bergetar. Perselisihan mereka penuh dengan kata-kata bernada tinggi, sarat dengan emosi, sudah tak terlihat lagi papaku yang penuh dengan wibawa atau mas Revan yang selalu lembut. Mereka tengah memanas, karena aku.

Mengabaikan sambutan kedua lengan yang mama berikan, aku menuju diantara kedua lelaki yang sangat kuhormati dalam hidupku.

"Maaf Mas, ikhlaskan aku."

"Kamu bilang apa? Kenapa tiba-tiba kamu kaya gini?"

"Karena kamu nggak pantas buat putriku."

"Cukup Pa. Mas Revan lebih dari pantas buat aku. Tapi maaf Mas, pinangan mu datang terlambat."

"Siapa dia?"

"Ragan Prawira. Jadi saya harap kamu pergi dari rumah saya."

"Maafin aku mas."

"Untuk apa kamu minta maaf. Kalau memang itu sudah pilihan orang tuamu, aku bisa apa? Saya undur diri kalau begitu. mohon maaf karena saya datang terlambat untuk meminang putri bapak."

--


Tanpa Kata (COMPLETE-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang