Author POV
Banyu mengernyitkan dahinya, merasakan pusing kepala yang sering melandanya apabila dia bangun kesiangan atau terlambat dari jadwal makan hariannya. Keduanya adalah benar, karena sekarang waktu menunjukkan pukul delapan pagi waktu setempat. Perlahan namun pasti, Banyu menstabilkan posisi tubuhnya yang mencoba untuk duduk. Dia sadar bahwa hari telah pagi, namun suasana di sekitarnya lah yang menimbulkan resah di hatinya. Tanpa banyak bertanya, Banyu mencari-cari sesuatu yang dapat menerobos kebuntuan kerongkongannya sekaligus meredakan indera perasa nya yang pahit. Setelah puas meminum segelas air yang telah tersedia di meja nakas, kini giliran otak Banyu memaksa tubuh lemahnya untuk berdiri. Belajar, mengamati, sekaligus mencari jawaban dari ketidaktahuannya saat ini. Berusaha beradaptasi dengan hal-hal baru yang belum pernah dia kenali, sebisa mungkin mencari solusi melarikan diri. Ini bukan rumahku, batin Banyu.Kepanikan segera merayap di tiap-tiap sel tubuhnya. Kecemasan dan gelisah memaksa jantung memompa darah dan menghasilkan keringat dari lubang kecil bernama pori-pori. Pakaiannya kering, seketika mulai basah, mengingat kali terakhir yang terjadi sebelum akhirnya Banyu hilang kesadaran. Sedikit antisipasi apakah ada hal yang lebih buruk sedang menantinya di balik pintu tersebut.
"Selamat pagi." Senyum itu merekah, memamerkan warna gigi seorang pria bertubuh jangkung yang cukup Banyu kenal.
"P..pa..pagi."
"Kamu pasti lapar. Aku sudah pesankan sup dan buah-buahan segar, mau makan sekarang?"
"Aku nggak lapar. Sekarang aku dimana?"
"Masa kamu lupa. Ini kan rumah kita."Deg
Degupan tak seirama memainkan peranannya dan jantung Banyu terasa amat sakit dan perih. Sungguh, sekalipun dulu mereka pernah memiliki rencana besar untuk menikah, tapi tak sekalipun Ragan pernah membawanya ke rumah ini."Mulai sekarang kita tinggal disini, sampai anak kita lahir."
"Anak kita kamu bilang? Ini anak mas Revan. Jadi jangan asal bicara kamu, Mas."
"Kamu itu istri aku, ya seharusnya itu juga anakku."
"Kamu lupa kalau kamu sudah membatalkan pernikahan kita 2 minggu sebelum akad nikah?"
"aku hanya datang terlambat."
"Hanya? Empat bulan kamu bilang 'hanya'?"
"Iya, hanya empat bulan. Dan tidak seharusnya kamu menikah sama Revan, pria tidak tahu malu merebut kekasih orang bahkan tunangan orang."
"Aku berstatus tunanganmu, sebelum kamu datang dan menulis pesan pembatalan akad nikah kita di secarik kertas. Akad nikah tidak sekonyol itu. Jika bukan karena mas Revan, mau diletakkan mana harga diri dan martabat keluargaku?"--
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Kata (COMPLETE-END)
RomanceHal terakhir yang pernah kuingat adalah dia pergi untuk kembali bersatu dengan masa lalunya. Tinggallah aku dengan masa-masa yang terlewati tanpa seberkas memori apapun tentang dirinya. Aku tidak pernah benar-benar mengingatnya, tapi satu hal yan...