Sekembalinya aku dari ground floor, pikiranku menerawang ke perbincangan hangat tadi. Mas Ragan hampir bertunangan dengan Tiara, kenyataan baru yang menampar telak di depan wajahku. Kenyataan bahwa sekretaris Direktur Wilayah memanggilku untuk menghadap ke ruangan beliau, aku segera tersadar di lamunanku. Kemudian disinilah aku sedang bercengkerama dengan beberapa top management yang selalu membuatku mengurutkan pangkal hidungku.
"Pak Revan, kenalan dulu sama Banyu." Kami pun berjabat tangan, dalam hati aku mendengus kesal ternyata aku dipanggil hanya untuk berkenalan dengan Pak Revan yang baru saja kami perbincangkan, holy shit.
"Ndak usah panggil Pak, cukup Revan aja."
"Saya Banyu."
"Namanya unik, mbak."
"Pendekatannya dilanjut diluar saja Pak Revan."
"Maaf pak."
"Nggak apa-apa. Tapi ngomong-ngomong Revan ini masih lajang lho, sama kaya kamu Banyu." Sejenak aku tergugu dengan penuh heran.
"Terus saya harus gimana pak? Carikan dia calon?"
"Ya, barangkali berjodoh kalian."
"Pak, tadi katanya pendekatannya dilanjut diluar?" aku segera menyadarkan beliau sebelum pembicaraan ini melantur kemana-mana.
"OK, siap Nyonya." Kemudian dengan lancar beliau menjelaskan perihal perkenalanku dengan Pak Revan siang ini yang tidak lain adalah untuk secara prioritas memantau perkembangan subkontraktor yang telah ditunjuk untuk pengerjaan fasilitas kelistrikan di proyeknya. Pasalnya, engineer yang bersangkutan sedang menjalani terapi akibat penyakit gagal ginjalnya di Jepang. Terhitung sejak hari itu, ada kemungkinan aku akan sering mendapat surat perintah kunjungan proyek. Alamak, menumpuk semua dipundak.
--
Jika dilihat dari gaya berbicaranya, Pak Revan terlihat lebih matang dan maskulin. Sekalipun dia setingkat kepala proyek, tetap saja dia masih suka mengenakan celana jins, sepatu semi boots dengan bahan kulit dari brand internasional, arloji dengan logo jangkar, dan tidak ketinggalan dompetnya yang selalu menyembul dibalik saku belakangnya. Sekarang aku jadi tahu alasan kenapa Tiara lebih memilih untuk mendekati pak Revan ketimbang mas Ragan, wait.. barusan aku membandingkan mereka, ok enough. Tapi mau bagaimana lagi perbedaan jelas mencolok diantara mereka berdua.
Tunggu, bukankah mereka hampir ...
"Mbak, kok melamun? Bukan mikirin status lajang saya kan?"
"hah?"
"Mbak, serius wajahmu imut banget kalau kaya gitu."
"Pak, kamu ngomong apa sih? Aku nggak ngerti."
Dia pun tertawa terbahak-bahak di sepanjang lorong menuju lift mendengar penurutanku yang menurutku sama sekali tak lucu. Menangkap adanya gurat-gurat keramahannya aku pun jadi ikut tersenyum. Well, aku tidak munafik Pak Revan juga masuk dalam kategori makhluk ciptaan Tuhan dengan standar ketampanan diatas rata-rata. Selain modis, wajahnya bersih, meskipun tidak terlalu putih, maklum warna kulit standar proyek. Tapi tidak menutupi bahwa Pak Revan lahir dari keluarga yang cukup berada. Sesaat aku menjadi merasa rendah diri berdiri di sampingnya, mungkin berbeda jika yang saat ini mendampinginya adalah Tiara.
Suara dentingan lift tidak menyurutkan pembicaraan sederhana kami dalam lift, ketika pintu terbuka tampaklah olehku mas Ragan tengah mematung.
"Pak, jadi masuk kan?" tanya Pak Revan. Mas Ragan yang tidak terbiasa dengan orang baru merasa canggung dengan kehadiran dari Pak Ragan.
"Mas, kenalkan ini Pak Revan. Pak Revan, dia mas Ragan ini staff di divisi produksi dan kebetulan juga dia senior saya." Mereka pun bersalaman, lumayan mengurangi intensitas kecanggungan.
"Oh ya? Berarti bisa kan saya tanya-tanya tentang kamu ke dia?" aku terperanjat mendengar candaannya.
"Tapi kamu curang, dia dipanggil 'Mas' sedangkan aku 'Pak'. Memang wajah aku udah keriputan ya?" lanjut pak Revan.
"Maaf pak, bukan begitu. kita kan baru berkenalan, saya masih.."
"Canggung? Oke mulai sekarang saya akan sering-sering WA kamu."
"Emang pak gak ada kerjaan?"
"Jangan panggil 'pak', mas aja. Ada sih, pedekate ke kamu."
"Alamak!" dia pun tanpa segan tersenyum lebar, sedangkan mas Ragan senyap tanpa suara.
Saat lift telah mencapai lantai basement, mas Ragan segera berpamitan untuk keluar terlebih dahulu. aku tidak sempat melihat ekspresinya, tapi aku bisa lihat bahwa dia tengah murung, memikirkan pekerjaan mungkin. Atau cemburu dengan kedekatanku terhadap pak Revan? Bolehkah aku berharap seperti itu?
Tak jauh dari mas Ragan, aku melihat Tiara berjalan melawan arah dengan mas Ragan dan mereka tidak saling bertegur. Ok, time to play truth or dare. Well, mereka sudah hampir akan bertunangan, bukankah artinya hubungan itu serius? Terus kemana emosi yang pernah mereka namakan sebagai cinta? Apa lenyap dan menguap layaknya asap rokok? Wajah Tiara yang datar saat berpapasan dengan mas Ragan seketika bersinar tatkala menghampiriku.
"Mbak kamu ngapain disini?" tanyanya sekedar basa-basi kurasa, karena belum sempat kujawab dia justru mengalihkan pertanyaan ke pak Revan cukup panjang lebar tentang hal-hal yang sifatnya remeh temeh. Jadilah kini aku seperti patung lilin yang tak dihiraukan oleh keduanya. Jika aku tidak berjanji dengan pak Revan, sudah kutinggal sepasang lovebird ini, terserah mereka mau apa.
Well, sejujurnya aku merasa tidak pantas berada diantara mereka berdua, lihatlah mereka dan lihatlah aku, jika orang melihat pemandangan ini mereka pasti sangat bersimpati atau mencemoohku, aku tampak bagaikan pungguk merindukan bulan padahal bulan sudah ditemani bintang yang gemerlap disampingnya.
"Kamu mau kemana?"
"Ditunda saja pak. Sebaiknya saya balik ke atas."
"Ehm.. kalau gitu saya ikut deh."
"Terus aku gimana Revan?"
"Lanjut aja. Ini masih jam kerja juga kan?" tutup pak Revan sambil berdiri di sampingku seraya menarik tanganku agar segera menuju ke lantai atas kembali. Sepanjang perjalanan otak mungilku ini penuh dengan pertanyaan tak penting, tapi jika tak ditanyakan takutnya jadi bisul.
"Kenapa pak malah ikut saya?"
"Ya, lebih baik ikut kamu daripada sama Tiara."
"Tiara nggak akan senang dengar penuturan pak barusan, setidaknya jujur saja sama dia."
"Saya sudah jujur dan dia terus-terusan kejar saya. Terus saya harus gimana? Ini jalan satu-satunya."
"Jadi, saya hanya alternatif kan?"
Langsung aku pun pergi. Setibanya dalam lift, aku baru menyadari bahwa pak Revan mengejarku. Terjadilah pembicaraan dalam lift, lagi.
"Kok aku ditinggal sih?" tanya pak Revan tampak kelelahan mengejarku.
"Ya buat apa saya stay?" tanyaku balik dengan sedikit kesal.
"Malah balik nanya, atau kamu cemburu ya?"
"Emang saya siapa, berani ikut campur urusan pribadi pak?"
"Kamu nggak suka sama Tiara?"
"Nggak juga."
"Terus kenapa pergi?"
"Karena saya masih tahu diri. Ada pak, Tiara, ujung-ujungnya saya hanya akan jadi pengganggu diantara kalian. Saya nggak mau dikasihani, pak."
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Kata (COMPLETE-END)
Roman d'amourHal terakhir yang pernah kuingat adalah dia pergi untuk kembali bersatu dengan masa lalunya. Tinggallah aku dengan masa-masa yang terlewati tanpa seberkas memori apapun tentang dirinya. Aku tidak pernah benar-benar mengingatnya, tapi satu hal yan...