end

5.5K 145 5
                                    

"Ragan, Keluar kamu!" Pekikan yang menyertai kepergian mobil kami dalam diam. Pekikan yang terdengar penuh dengan amarah, emosi, dan keputusasaan. Sebuah suara yang kurindukan, amat sangat kurindukan. Dia datang, sejauh ini, demi mencariku. Dialah jawaban saat aku bertanya, dialah penghibur saat ku lara, dialah obat saat ku luka.

Mas Ragan masih bergeming dalam mobil ini, matanya yang penuh tekat masih memandang lurus ke depan, pipinya yang kian tirus serta adanya jambang tipis yang dicukur dengan tergesa-gesa memberikan kesan angkuh, dingin, dan tak tersentuh. Aku bisa mendengar ia menggeram saat ketukan di kaca mobil berubah menjadi gedoran.
"Sebaiknya dibuka sebelum menjadi keributan."
"Mereka yang memulai bukan aku." Jawab mas Ragan dengan amarah yang berkobar di kedua matanya. Selama ini aku tak pernah benar menyelami kedua matanya yang berwarna coklat. Aku yakin, suatu saat mata itu sanggup menyesatkan seseorang dalam pesonanya sendiri, sayangnya itu bukan aku.

Oh, mobil ini dibeli dengan hasil keringat serta jerih payahnya. Namun sayang mobil ini dirancang agar central lock dengan satu pengendali, hanya di kursi pengemudi. Sedangkan di pintu lainnya tidak terlihat lock panel nya, sedikit mengesalkan sebetulnya. Penumpang dibuat merasakan sebagai tahanan dalam mobilnya sendiri.

Suara klik menyertai dengan terbukanya pintu yang berada di samping mas Ragan. Mendengar hal itu aku pun langsung keluar dan mendapati mbak Nita telah disana dengan scarf yang melilit di lehernya. Sedikit tidak masuk akal sebetulnya menggunakan scarf di negara tropis.
"Do not look at me like that."
"Like what?"
"Like you gonna judge my fashion style."
"Yeah.. it was.. strange."

Aku tidak begitu memperdulikan apa yang terjadi pada mas Ragan, karena aku tahu bahwa dia telah berada di tangan yang tepat. Jika bukan mendapat makian, tamparan, atau bogeman dari suamiku, well mas Ragan boleh memilih salah satu. Tapi sayangnya sepertinya suamiku lebih memilih mendatangiku dengan urat syaraf di lehernya yang kaku, wajahnya merah padam, mungkin dia butuh penenang.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Jika pengertian ndak apa-apa adalah aku sehat, maka yes i am fine. But i miss you." Ku peluk suamiku erat tidak peduli kami berada di tengah jalan komplek.

"Cukup berpelukannya. Aku nggak akan pernah ikhlas kalian berdua menikah." Teriak mas Ragan yang ditanggapi santai oleh mas Revan, suamiku menunjukkan jari tengahnya ke udara. Ok, jangan contoh itu.
"Kau tahu, kita akan selesaikan ini secara kekeluargaan atau jika kau memang ingin memancing emosiku lebih jauh, maka pengacaraku yang akan bertindak. Kau pilih yang mana?"
"Aku pilih Banyu tetap bersamaku." Sesaat aku melihat gesture mas Revan akan menjatuhkan sebuah pukulan tinju ke wajah mas Ragan, oke aku sempat menahan pukulan itu agar tak dilayangkan.
"Kau lihat? Bahkan Banyu pun tidak rela kau memukulku. Bukankah itu artinya dia masih mencintaiku?"
"Katakan! Kau masih mencintai pria brengsek yang telah membawamu pergi?"
"Well, i was loved you. But there is no more for us, present or future."
"Kau dengar dengan telingamu kan, Ragan Prawira?"
"Sudah. Jangan melayani emosinya yang tidak jelas. Sebaiknya kita pulang dan biarkan pengacara yang menyelesaikan. Bagaimana?"
"Oh.. thanks i know you will be my endoprhine."
"Of course i know."
"Kalian tahu bahwa kalian sangat mengerikan?"
"Why?"
"Bermesraan di depan umum bahkan saat kriminal ini masih di hadapan kalian."
"Well, jangan sebut dia kriminal. Dia hanya merasa bersalah dan belum menemukan alasan kenapa banyak hal terjadi selama 4 bulan kepergiannya ke antah berantah. Jika aku boleh memberi saran, sebaiknya mas Ragan dibawa ke rehabilitasi untuk mencoba mengembalikan memori serta psikis nya yang terguncang."
"Kau mau bilang dia bukan tersangka?"
"Jika dikatakan sebagai konspirasi, maka dia lebih pantas disebut sebagai korban. Bagaimanapun juga dia telah mengakui kekhilafannya di masa silam dan aku telah memaafkannya."
"Maksud anda, ada orang lain yang menjadi dalang penculikan ini?" Tanya polisi yang belum kuketahui namanya itu.
"Ehm.. bisakah kita membahas ini di rumah saja pak polisi, aku secara resmi mengundangmu ke rumahku, dengan membawa tahanan mu juga tentunya."
--
"Ragan, berterima kasih lah pada Revan, terutama Banyu. Mereka telah mencabut laporan mereka, meski pada akhirnya kamu tetap direhabilitasi."
"Tapi Ragan bukan orang gila, Ma."
"Mama tahu. Kamu hanya terobsesi. Tapi itu juga penyakit mental yang akan merusak dirimu sendiri. Sembuh dan carilah wanita yang lebih baik."
"Maaf Ma. Tapi hatiku sudah mati, Banyu sudah bukan milikku, ruang gerakku dibatasi, seolah Ragan adalah pesakitan."
"Kamu hanya korban disini, nak. Mama juga pernah muda, ya sekalipun tidak senekat kamu. Nasi sudah menjadi bubur, Mama akan terus support kamu, sering jenguk kamu, bahkan bila perlu mama akan pindah sampai kamu sembuh."
"Buat apa mama habiskan waktu buat anak seperti aku? Aku hanya bisa membuat mama malu karena tindakanku di masa lalu, aku juga sudah membuat ayah Banyu meninggal, juga hampir menodai kehormatan keluarga Banyu seandainya Revan tidak datang."
"Sudah. Tidak perlu dibahas lagi."
"Ragan lelah ma. Lelah menjadi orang yang terus dibutakan cinta, padahal jelas sekali Ragan hanya dimanfaatkan."
"Ambil hikmah dari kesalahanmu saat ini dan raih masa depanmu dengan langkah yang pasti."
"Masa depan Ragan sudah pasti. Ada di tangan Tuhan."

Pada akhirnya Ragan hanya bisa membawa Banyu dalam memori yang penuh kasih dan rindu. Hanya sebatas itu, tak lebih. Bulan berlalu, tapi Ragan masih setia menjadi pasien disana, bergelut dengan pemikirannya sendiri yang menerawang jauh. Tanpa rasa, semua hampa, hanya karena cinta sesaat yang mengambil manfaat tanpa penat. Sebuah senyum parasit mengembang membuat hati Ragan yang masih lugu terjerumus dalam pahit.

Dari kejauhan Ragan bisa melihat Banyu berjalan, menggendong bayi yang terbalut kain hangat berwarna abu-abu nan lembut.
"Kamu sudah lebih baik mas?" Ragan menatap Banyu dalam dan tak berniat memberinya jawaban.
"Aku kemari membawa buah tangan sekaligus mau memberi kabar baik. Aku sudah melahirkan, usianya baru sebulan, jika kamu berkenan sepuluh  hari lagi kami akan membuat acara syukuran. Kamu datang ya mas."
"Kalian nggak bisa balik sama aku, kan?"
"Maksud kamu apa mas? Jelas nggak bisa. Aku sudah punya keluargaku dan kamu bahagia." 
"Aku senang kamu bahagia, meski tidak bersamaku."
"Apa kamu menyesal mas?"
"Lebih dari menyesal."
"Sembuhlah dan segera keluar dari sini. Aku yakin di luar sana jodohmu sudah menanti."
"Tapi aku tidak mau, kalau jodohku bukan kamu."
"Maaf mas. Kami harus pamit."
Ragan menahan lengan Banyu, agar wanita itu duduk kembali.
"Siapa namanya?"
"Sadiq el Rahman Hasan."
"Boleh aku menciumnya?" Pertanyaan yang mengerikan sebetulnya, tapi Banyu mengiyakan permintaan Ragan. Setelah menciumnya Ragan membisikkan doa, yang Banyu yakini, adalah sebuah ketulusan serta hasil dari kejernihan pikiran yang mendalam.

Tepat beberapa jam setelah jam malam bergulir, Ragan memilih berjalan menuju atap gedung. Mencoba mencari sebuah kawat tak terpakai. Pada akhirnya pria itu memilih jalan singkat dengan mengakhiri hidupnya di lembah keputusasaan sekaligus penyesalan tak terbantahkan.

Ketika hati hanya mampu menyimpan satu nama, maka biarkan saja. Tapi jika tak sanggup bertahan maka lepaskan dan lupakan. Maka seperti itulah yang kuinginkan, aku melepaskanmu dan kau pun melupakanku.

-- the end --

Tanpa Kata (COMPLETE-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang