Tiap guliran menit terasa bagai berbulan-bulan, bahwa tiap detik yang tergelincir terasa amat lama dan menyiksa. Sekalipun dalam hati sering berkata keyakinan tapi logika tak kunjung percaya. Banyu mencoba menyamankan dirinya dengan kamar yang ia yakini sebagai kamar utama. Perabotan yang berada di dalam pun terlampau biasa, tak sepadan dengan kemewahan yang ditawarkan dari hunian. Tapi perabotan ini tentunya Ragan sendiri yang memilih, sudah jelas terlihat.
Hingga saat ini pun, Banyu ingin membuka pintu yang menghubungkan antara kamar dengan dunia luar. Kemudian tampaklah Ragan dengan segala pakaian yang melekat pas di tubuhnya.
"Mau kemana?" Tanya Banyu.
"Mau keluar. Kamu nggak bosan di rumah terus?" Jawab Ragan sambil melangkah mendekati Banyu yang menikmati semilir angin melalui jendela.
"Kamu ijinkan aku?"
"Apa alasan aku nggak ijinkan kamu?"
"Barangkali kamu ..."
"Takut kabur, maksudmu? Tenang aja, kamu kabur sekalipun aku masih bisa nemuin kamu lagi."
Banyu dibuat tak percaya dengan jawaban Ragan. Dia benar-benar menjadi pria yang terobsesi pada suatu hal, yaitu Banyu."Jadi kamu nggak akan melepaskanku seutuhnya mas?"
"Buat apa? Aku masih percaya kalau kita berjodoh, hanya menghitung waktu hingga akhirnya kamu tahu dan sadar."
"You lose your mind, right?"
"What? No. I am truly fine. Well, anggap saja dulu aku khilaf dan ingin memperbaiki semua."
"Semua kekhilafanmu sudah terjadi, aku memaafkan itu. Semua sudah selesai, just let it go."
"Dan membiarkan kamu kembali ke pelukan Revan? Jangan bermimpi Banyu, ini masih siang."Banyu kembali menundukkan kepalanya, kepalanya kembali pusing akibat perdebatannya dengan Ragan. Banyu sepenuhnya yakin, Ragan telah berubah, sepenuhnya berubah. Secara fisik, psikis, dan mental, adakah yang lebih buruk dari itu? Ada, yaitu waktu. Seandainya Ragan dulu datang dalam kehidupan Banyu sebagai pria yang membuat Banyu merasa diinginkan, membuat Banyu merasa spesial, mungkin dia tak pernah masuk dalam rayuan Revan. Ya biarpun sebetulnya rayuan Revan berubah menjadi nyata, tapi setidaknya pria yang sekarang menjadi suami Banyu itu, telah berusaha. Sedangkan Ragan, masih berdiri diatas kebimbangan hatinya sendiri. Bimbang untuk menentukan antara Tiara yang sesuai dengan kriterianya ataukah Banyu yang sesuai dengan kriteria keluarganya.
"Cukup berdebatnya. Aku nggak mau kamu sakit, sebaiknya ganti baju, kita akan segera jalan-jalan, masih mau kan?" Tanya Ragan sambil mengelus pipi Banyu lamat-lamat.
"Kan aku nggak ada baju selain yang ku pakai."
"Lihat dulu di closet. Aku tunggu di bawah ya."--
"Jadi gimana mbak?"
"Kami udah disini dari sebelum jam 12, yang lewat hanya kurir makanan."
"Ketahuan wajahnya?"
"Belum pak. Makanya kami ubah posisi pengintaian." Jawab polisi tersebut.
"Apa kita tidak perlu meminta bantuan ke tim kepolisian pak?"
"Kita hanya menggunakan indikasi dari lokasi yang diberikan pihak provider tapi itu tidak bisa dijadikan bukti untuk masuk dan menggeledah rumah tersebut pak."
"Jadi pak mau tunggu sampai istri saya melahirkan di dalam?"
"Sabar pak. Kita tidak boleh gegabah, kecuali bapak ingin dituntut balik oleh pemilik rumah."Pikiran Revan tak hentinya berputar layaknya bianglala, terus berputar tanpa titik temu, tanpa titik tujuan. Mereka hanya bisa menunggu. Kemudian keluarlah sebuah mobil dari rumah yang mereka intai. Sebuah city car keluaran di tahun sekarang, melalui kaca mobil diketahui ada lebih dari 1 orang di dalam. Tak satupun dari mereka bisa melihat pengendara mobil tersebut dari jarak sejauh 10 meter. Hingga akhirnya mobil tersebut melaju keluar rumah dan jelas sudah, ada Banyu dalam mobil tersebut. Terduduk dalam diam di kursi penumpang.
"Itu istri saya pak." Teriak Revan. Polisi bernama Emir itupun segera berlari menghalangi depan mobil, membuat mobil tersebut berhenti mendadak. Tanpa basa basi, Revan pun berjalan menuju kursi pengemudi.
"Ragan, keluar kamu!"
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Kata (COMPLETE-END)
RomanceHal terakhir yang pernah kuingat adalah dia pergi untuk kembali bersatu dengan masa lalunya. Tinggallah aku dengan masa-masa yang terlewati tanpa seberkas memori apapun tentang dirinya. Aku tidak pernah benar-benar mengingatnya, tapi satu hal yan...