Revan sedang memandangi lembah berliku yang terhampar luas di depan matanya. Indahnya pemandangan alam Sumatera Utara tak mampu menepis kerinduan yang melanda hatinya setiap hari. Sebuah rasa rindu yang mampu membuatnya menitikkan air mata sarat emosi, yang Revan sebut sebagai cinta. Perasaan cinta yang terbalaskan dan dibungkus dalam hubungan atas nama Tuhan.
Ponselnya berdering memecah lamunan, sebuah nama yang tak diharapkan justru muncul di layar LED nya.
"Halo?"
Tak ada jawaban.
"Halo? Siapa ini?"
Masih sunyi.
"Halo? Saya akan tutup jika anda tidak menjawab."
Terdengar suara sayup-sayup seseorang yang dikenalnya, tapi Revan yakin seseorang itu tidak sendirian. Mereka semakin menaikkan nada pembicaraan sebelum akhirnya bunyi 'beep' mengakhiri sambungan.Revan menyadari ada yang tidak beres. Dirinya menelepon rumah sebagai gantinya, hingga lima kali percobaan tak ada hasil. Akhirnya Revan menelepon seseorang yang telah diberi mandat sebagai security. "Selamat pagi pak Rahmad. Istri saya di rumah?"
"Maaf pak. Kami masih di kantor polisi?"
"Maksud bapak?"
"Semalam saya ijin mengantar kakak saya berobat. Paginya, pintu rumah sudah tertutup tapi tidak terkunci. Saya pun sudah keliling ke seluruh penjuru rumah. Maafkan saya pak."
"Iya pak, sudah.. sekarang paling penting bapak selesaikan urusan di kepolisian. Saya akan segera pulang."--
"Ha? Nggak salah pak?"
"Nggak Mbak. Coba bantu aku cek nomor itu. Aku yakin sekali. Ajak kepolisian untuk lacak nomor itu. Sekarang aku sudah di bandara, setengah jam lagi mau lepas landas."
"Oke. Aku akan ijin dari kantor sekarang."Nita segera menutup panggilannya dan berjalan menuju kantor dimana managernya berada. Setelah mendapat ijin, akhirnya Nita segera meluncurkan kendaraannya menuju rumah Banyu untuk menemui security yang telah membuat laporan orang hilang.
Nita meminta copy laporan tersebut dari pihak kepolisian dan membawanya sebagai dasar agar dipermudah oleh pihak provider untuk melacak sinyal nomor tersebut. Nita memastikan kembali kepada pihak provider, jenis telpon genggam apa yang menjadi pemancar nomor tersebut hingga akhirnya dia yakin bahwa itu ponsel Banyu.
Berbekal sedikit keberanian, Nita dan seorang polisi berseragam preman itu pun mulai mengamati keadaan di lokasi pencarian. Sejujurnya lokasi tersebut bahkan masih dalam radius 2 kilometer dari kantornya, bahkan cukup dekat dengan rumah Banyu. Sungguh aneh kan penculiknya, kecuali nanti Banyu bisa menjelaskan kepergiannya.
"Halo, pak?"
"Kamu dimana Mbak?"
"Saya lagi cek lokasi. Bapak posisi dimana?"
"Jalan pulang."
"Good. Saya akan share location, tapi jangan bawa mobil ya."
"Kamu sendirian, mbak?"
"Nggak. Ada satu polisi yang menemani saya. Nanti kita kabari lebih lanjut."Setelah hampir setengah jam mengitari komplek, mereka belum bisa meyakini rumah mana yang dijadikan tempat persembunyian. Tapi menurut infomasi yang didapatkan dari warga setempat, ada sebuah rumah yang baru satu pekan ini disambangi oleh pemiliknya. Meski tak jelas apakah pemilik rumah tersebut adalah penculiknya atau bukan, tapi bukankah layak diperhatikan?
Tepat di depan rumah yang dimaksud, Nita segera membenahi scarf yang menutupi mulut dan hidungnya sebagai bentuk penyamaran. Beruntunglah kondisi dan cuaca di tempat itu amat mendukung. Rumah yang sedang mereka intai cukup lengang, tak ada keributan ataupun suara kehidupan. Hanya ada seorang kurir makanan dari ojek online yang mampir dan mengetuk pintu rumah. Sayangnya posisi pintu terbuka ke arah luar, sehingga menutupi keseluruhan wajah dan postur pemilik rumah.
--
Banyu merasakan sakit sekaligus takut. Sakit karena hatinya dan takut karena keselamatan anaknya. Dia tahu Ragan bukan orang jahat, dia sedang terombang-ambing dengan ingatan dan logikanya yang tidak sejalan. Matahari kian meninggi, tapi tidak sedikitpun niat dihatinya untuk memakan sup yang telah Ragan bawa. Pria itu telah membawa Banyu dengan paksa setelah pembiusan, bukan tidak mungkin dia akan melakukan hal yang lebih berbahaya lagi.
Banyu bersyukur, ponselnya berukuran cukup kecil sehingga dapat disembunyikan di dalam bra sport nya. Sehingga tidak akan ketahuan, ditambah dengan mode senyap yang dibuatnya. Tapi bodohnya nomor yang ter-implant dalam ponsel adalah nomor baru yang sengaja dibeli untuk sekali pakai. Banyu menyalakan share location kepada Revan, berharap suaminya sadar bahwa dirinya butuh pertolongan. Meski Revan jauh disana, tapi Banyu yakin bahwa suaminya akan datang menjemput dan membawanya pulang.
"Kenapa buburnya belum dimakan? Masih hangat jadi masih enak."
"Aku nggak lapar, mas."
"Kamu nggak, anak kita pasti lapar."
Anak kita dia bilang, batin Banyu. Banyu tidak boleh gegabah, dia harus mendapatkan simpati Ragan sebelum akhirnya Revan datang membawa bantuan, jika perlu. Sedikit bersandiwara sepertinya harus dicoba, yah sedikit bermuka dua seperti Tiara boleh juga.Banyu mengambil bubur dengan sendok dan menyuapkan ke dalam mulutnya sendiri, sambil membayangkan bahwa pria yang di hadapannya adalah suami tercinta, bolehkan?
"Jangan cuma satu sendok, lagi dong."
"Aku masih ngunyah mas."
"Atau mau dibantu suap?"
"Nggak usah aku bisa sendiri."
"Oke, aku buatin kamu susu dulu ya. Jangan lupa dihabiskan buburnya."Seandainya Ragan dulu tidak pergi, mungkin rumah tangga mereka akan terasa seperti sekarang. Tapi sudahlah, nasi telah jadi bubur, jodohnya adalah Revan, juga memberinya warna pernikahan yang menakjubkan. Sambil terus memasukkan sendok demi sendok bubur ke dalam mulut, Banyu merasakan getar pelan dari ponselnya. Sebuah pesan masuk.
Sabar. Orang sabar pasti subur.
nitnotBanyu merasakan hangat di hatinya, Mbak Nita adalah jalan keluar dan harapannya sekarang. Banyu yakin, ada Revan dibalik kedatangan Mbak Nita. Segera Banyu melahap bubur hingga tersisa setengah porsi dan memakan buah yang ada di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Kata (COMPLETE-END)
RomanceHal terakhir yang pernah kuingat adalah dia pergi untuk kembali bersatu dengan masa lalunya. Tinggallah aku dengan masa-masa yang terlewati tanpa seberkas memori apapun tentang dirinya. Aku tidak pernah benar-benar mengingatnya, tapi satu hal yan...