tanpa judul #3

5.2K 185 2
                                    

Segalanya berlalu seperti rutinitas biasa bagiku. Aku yang tengah disibukkan dengan beberapa tender baru harus ekstra sibuk dalam ruangan, bahkan jam makan siang pun selalu terlewat, jam lemburku kian bertambah.

"Kalau baca jangan sambil jalan." Imbau Mas Ragan.

"iya.. maaf ya mas." Timpalku.

"Baca apaan sih? Kok seru banget kayaknya?" Kutunjukkan buku bacaanku tanpa jawaban.

"Hmm.. pantes.. lagi banyak tender baru."

"Ya alhamdulillah Mas, berarti dapur perusahaan masih ngepul." Dia pun tertawa.

Kedekatan kami pun berjalan secara natural, terkadang bertemu saat rapat pembahasan dengan rencana tim produksi untuk proyek baru atau terkait tender dengan subkontraktor. Tak ayal kedekatan kami yang terlihat mengundang banyak pertanyaan. Mendengar banyaknya pertanyaan tersebut, aku sering mengingatkan teman-teman untuk tidak lagi membahasnya, terutama di depan Mas Ragan. Karena aku tahu semakin digonggong dengan perkataan seperti itu, akan berpengaruh terhadap hubungan profesional kerja kami, maklum dia kan orangnya pemalu. Bahkan terkadang aku pun berani blak-blakan menjawab pertanyaan mereka tepat di depan muka mas Ragan, at least agar dia tahu bahwasanya aku bukanlah penyebar issue-nya.

Disaat aku sedang sendirian, mulailah aku berpikir tentang masa depan. Usiaku kini cukup matang untuk memulai berumah tangga tapi sayang belum ada yang melirik, hihi. Jika mengingat perkataan teman-teman tentang Mas Ragan dan beberapa hal tentang kecocokan kami, aku pun mulai mengingat kembali kilasan beberapa hari terakhir dengan Mas Ragan. Seperti yang pernah kukatakan diawal, semenjak pertemuan kami di kantor sejujurnya perangai mas Ragan cukup membuatku kaget, well meskipun tetap pemalu setidaknya dia agak terbuka dengan pembahasan tentang wanita dan masa depannya.

Secercah harapan terbit dalam hatiku, ketika beberapa kali aku memergokinya sedang menatapku lekat. Saat ku memberinya tatapan balik, dia tidak menghindarkan pandangannya seperti dulu. bahkan saat aku kian mendekatinya untuk meminta jawaban atas tatapannya tersebut dia masih tegap berdiri disana menungguku. Bolehkah aku bermimpi di siang hari?

Pertemenananku terbilang cukup luas, dari ground hingga top floor, dari gerbang depan hingga kantin di belakang, hampir semua orang yang kulewati saling bertukar sapa dan senyum. Kemudian saat aku tiba di meja receptionist, beberapa teman dari pihak info memanggilku, awalnya aku mengira mereka akan memberikanku sebuah titipan dokumen atau sejenisnya, and i am wrong, totally. Kian mendekat wajah mereka kian bersemangat dalam berbincang, entah apa yang dibahas. Well, we cant blame them, karena namanya juga tim info/receptionist tentunya segala issue terjaring melewati panca indra mereka. Salah satu diantara mereka menarik lenganku cepat.

"Mbak, kamu kenal sama siapa itu.. si umum yang sok cantik itu..?"

"Siapa?"

"ih, yang mukanya oriental terus rambutnya tiap hari hari dugulung kaya roolcake. Duh, siapa ya?"

"Oh, maksud Mbak Nita, Tiara?"

"Ah itu dia."

"Kenapa mbak? Orangnya ramah kok?"

"Ih, hati-hati mbak. Dia itu ramah kalau ada perlunya aja."

"Masa sih?"

"Iya. Korbannya udah banyak, contohnya nih ya tiap wara-wiri kantor selalu minta dianterin sama sopir, terus suka senyum-senyum ke tim maintenance gedung, terus makin sok kecantikan aja dia pas jalan di samping Pak Revan."

"Siapa Pak Revan, mbak?"

"Itu lho, kepala proyek muda yang ditugaskan di Medan." Aku pun beroh ria.

"Kalau menurutku, dia orangnya supel sih mbak. Ya mungkin ramahnya kelewatan."

"Ih, gak ada yang namanya gitu di kamus dia. Nih ya, Mas Ragan tahu kan mbak? Dia itu ditinggal sama Tiara, padahal katanya mereka hampir tunangan."

What the hell.

"Serius?"

"Ih, mbak mah hobinya baca buku terus. Jadi ya mbak, ini aku serius lihat mata kepala sendiri. Kurang lebih setahu yang lalu, pak Ragan kan juga sering mampir ke HRD buat urus perpanjangan kontrak kerja dan lain-lain, mulailah dari situ kedekatan mereka terjalin mbak."

"Tunggu, Tiara pernah di HRD?"

"Pernah mbak. Tapi ya karena modal cantik aja gak tahu otaknya ditinggal dimana, akhirnya turun lah derajatnya jadi umum."

"Terus kaitannya ama Pak Revan apa?"

"Ya, hubungan mereka jadi hancur karena Pak Revan barusan dipromosikan jadi kepala proyek sejak enam bulan lalu."

"Jadi maksud Mbak Nita, Tiara gila jabatan?"

"Gak hanya jabatan, harta juga. Buktinya aku pernah lihat Tiara marah-marah ke Pak Ragan karena kulit wajahnya kemerahan."

"Apa urusannya sama Mas Ragan, kan itu wajah dia?"

"Jelas ada mbak. Pak Ragan kan Cuma modal motor. Sedangkan kalau sama pak Revan pasti pakai setir bundar."

Aku ber-oh-ria sambil mengangguk paham. Kemudian aku berpikir kenapa mereka bercerita tentang ini kepadaku?

"Terus, kenapa cerita ke aku?"

"Ya... kan secara kita sering lihat mbak akrab sama Pak Ragan, cocok gitu kelihatannya. Pokok gitulah mbak, ya hati-hati aja sama dia, bahwa Tiara itu tabiatnya gak secantik wajahnya."

"Jadi, wajah Tiara cantik?"

"Nggak, tepatnya sok kecantikan."

--

Tanpa Kata (COMPLETE-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang