#12

2.2K 93 0
                                    

Dear Diary

Sudah dua bulan aku menjalani peran sebagai tunangan yang penurut, dia pun tak ubahnya sebagai pria over-protective pada umumnya. Dia sudah keluar dari rumah sewa yang dulu kami tinggali bersama teman-teman lainnya, tapi tetap saja, berangkat dan pulang kami akan jalan berdua. Rasanya sudah menjadi kebiasaan. Mungkin ini arti dari pepatah Jawa : Tresno jalaran soko kulino (Cinta lantaran terbiasa).

Kami sudah memesan model undangan dan cincing pernikahan kami, bersama-sama membahas daftar calon tamu di akad nikah kami. maklum karena kami adalah pegawai di salah satu perusahaan negara, maka cuti yang diberikan pun tidak bisa terlalu lama, just a week. Itupun termasuk honeymoon.

Kami menggelar pernikahan sederhana di tanah kelahiranku, tepat di hari Jumat. Rencananya pukul delapan akan dimulai akad nikah dan setelah sholat akan dilanjutkan makan siang bersama tetamu undangan. Konsep pernikahan kami menggunakan warna putih gading, maklum mas Ragan tidak cukup percaya diri untuk memakai busana warna putih susu pada umumnya. Kami pun sudah mulai fitting busana pengantin, dan mencari make up artist melalui bantuan dari beberapa teman.

Sesekali saat aku memilih sebuah cincin, aku teringat dengan cincin yang pernah mas Revan berikan padaku saat kami sedang menyelesaikan proyek di Medan. Cincin itu bentuknya cukup rumit, banyak ukiran dan dilengkapi dengan berlian. Bahan utamanya adalah emas putih, karena menurutnya emas putih itu layak untuk diberikan kepada orang yang istimewa, baginya aku juga istimewa. Apakah mas Ragan juga mengistimewakan aku seperti mas Revan? Kata istimewa yang kumaksud bukanlah lantaran nilai dari pemberiannya, melainkan perlakuannya serta perasaanya yang sanggup dia curahkan untukku.

Apakah aku berlebihan meminta ketulusan? Bukankah aku calon istrinya? Ok, itu wajar. Pilihan kami akhirnya jatuh ke sebuah cincing berwarna emas kuning dengan sebuah mata berwarna biru safir sebagai matanya, sangat sederhana. Tapi itu tidak masalah, karena aku juga tidak mau meributkan hal-hal sepele seperti itu.

Kami memasuki toko sepatu, setelah melakukan putaran sebanyak tujuh kali di pusat perbelanjaan yang berbeda, akhirnya pilihanku jatuh pada sepatu dengan hak rendah, sekitar tiga sentimeter dan selembar bahan lace berwarna krem natural yang menutupi hampir keseluruhan punggung kakiku. Bagiku pernikahan adalah sekali sumur hidup, aku ingin semuanya istimewa sekalipun tidak mahal, setidaknya tidak pasaran. Tapi bagi mas Ragan, sepatu dengan hak tinggi artinya adalah kesombongan.

Tanpa Kata (COMPLETE-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang