Ragan POV
Beberapa kali aku menelisik melalui pandangan mataku yang terlindung dari hoodie ini. Wajahku yang kusam akibat kurangnya perawatan diri, ditambah kondisi tubuhku yang belum pulih sangat, membuat penampilanku amat meyakinkan menjadi gelandangan temporer.
Entah apa yang terjadi selama 2 pekan terakhir. Banyak hal yang hilang dalam benakku, seolah logika dan kenyataan yang ku hadapi tak lagi sejalan. Sebelum menjalankan rencana ini, aku telah mengunjungi sebuah rumah sakit untuk memastikan kondisi diriku yang sebenarnya.
Beliau mengungkapkan bahwa kepalaku sempat mengalami benturan, yang mengakibatkan adanya penyumbatan sehingga mempengaruhi kinerja otak dan menutup beberapa syaraf yang menyambungkan ke beberapa memori.
Tapi diantara memori yang hilang, hanya wajah Banyu yang tidak pergi, well i like it. Dan pagi ini aku duduk terdiam di luar dinding bangunan. Kemudian seorang pengendara motor menghampiriku dan memberiku sekotak makanan. Tahukah kalian bahwa itu Banyu? Aku bersorak kegirangan meski aku tak bisa membuka hoodie ku sekarang, tapi nanti.
--
"Siapa disana?"
Tak ada jawaban selain hembusan angin yang melewati ventilasi. Kali terakhir yang Banyu ingat adalah pintu utama telah ditutup, tapi dirinya juga kurang yakin.
Malam itu, Nita kembali ke rumahnya, sedangkan asisten rumah tangga dan satpam tengah tak berada di rumah. Sebetulnya malam belum larut, tapi entah mengapa perasaannya was-was. Mungkin efek dari kesendiriannya di sebuah rumah besar.Setelah Banyu menutup pintu dan merapikan gorden, segera dia kembali masuk ke dalam kamarnya, memilih bergelung dalam balutan selimut tebal sambil menunggu panggilan Video call dari suami tercinta.
Baru empat anak tangga dia lalui, seolah ada bisikan yang mengundangnya untuk mengecek ke dalam dapur. Sekedar membawa cemilan dalam sebuah toples yang selalu asistennya siapkan. Sayangnya, ada seseorang yang menepuk pundaknya dalam keremangan cahaya dan terlindung tudung/hoodie.
"Holla, Baby." Sapa pria itu dengan membuka hoodie nya. Banyu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Bukan berteriak, justru Banyu menitikkan air matanya.
"Mau apa kesini?"
"Menagih janji."
"Janji apa? justru kamu yang tidak menepati janji." Banyu memukul tubuh Ragan dengan kesal. Namun kesedihan yang menyelimuti dirinya, membuat pukulan itu hanya sebagai bentuk luapan emosi yang tertunda selama sekian bulan lamanya.
"Aku tahu. Aku salah."
"No. Kamu nggak salah. Aku yang salah sudah percaya sama kamu, bahkan... bahkan.. aku sempat menyimpan rasa buat kamu mas."
Ragan melebarkan kelopak matanya dan tampak pergerakan pupilnya juga kian membesar.
"Tunggu apa lagi? Ayo kita nikah sekarang."
"Aku nggak tahu, kamu tadi masuk lewat mana. Tapi harusnya kamu lihat foto pernikahan kami, aku dan mas Revan."
"Kenapa semua orang selalu lebih memilih Revan dibandingkan aku? Kurang ku dimana?"
"Karena mas Revan hadir disaat kamu nggak ada di tempat yang seharusnya. Justru sekarang aku yang balik tanya, kamu kemana 2 minggu sebelum pernikahan kita mas?"Tak ada jawaban.
"Kamu tahu, cara kamu membatalkan pernikahan kita itu konyol sekali. Papaku masuk rumah sakit setelahnya dan kemudian beliau meninggal."
"Papa kamu meninggal?"
"Iya. Dan air mataku buat kamu juga sudah kering." Wajah Banyu yang semula sendu dan sedih, seketika mengeras, seperti hatinya kepadanya Ragan. Baginya, Ragan bukan hanya masa lalu, juga sebuah buku yang harus ditutup sebelum kalimat 'tamat'.
"Sebaiknya, kamu pergi mas. Aku sudah tenang dengan pernikahanku, jadi biarkan kita berjalan masing-masing. Malam ini, aku anggap nggak pernah terjadi."
"Tapi maaf juga. Aku nggak rela kamu nikah sama Revan."
"Kalau begitu menikahlah dengan Tiara, bukankah dia yang kamu cinta? Sedangkan aku hanya sebuah alternatif buatmu."
"Aku nggak pernah menganggapmu begitu." Jawab Ragan sambil memeluk Banyu. Tapi respon yang Banyu berikan adalah geliatan resah dan memberontak ingin keluar dari rengkuhan Ragan.
"Aku sudah salah, pernah mencintai Tiara. Semakin salah juga, apabila aku melepas kamu sekarang."
Ragan menarik paksa tubuh Banyu untuk keluar dari area dapur menuju teras rumah. Komplek perumahan yang cukup sepi dan jarang dilalui kendaran pun kian menunjang untuk Ragan membawa kabur Banyu.Banyu terus memukul tangan Ragan yang mencengkeram lengannya. Mungkin nanti akan membekas warna biru atau keunguan. Namun tiba-tiba mulut dan hidung Banyu ditutupi dengan segenggam kain sapu tangan, yang membuatnya tak sadarkan diri seketika.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Kata (COMPLETE-END)
RomansaHal terakhir yang pernah kuingat adalah dia pergi untuk kembali bersatu dengan masa lalunya. Tinggallah aku dengan masa-masa yang terlewati tanpa seberkas memori apapun tentang dirinya. Aku tidak pernah benar-benar mengingatnya, tapi satu hal yan...