tanpa judul 8

2.3K 118 0
                                    

Pendaratan pesawat berlangsung sempurna di landasan pacu pesawat domestik, barang yang kami bawa telah dipindahkan menuju conveyor untuk selajutnya diambil. Layaknya orang kaya pada umumnya, mas Revan lebih suka menghabiskan waktunya sambil bersenda gurau denganku ketimbang menunggu bawaan kami, jadilah ia membayar porter bandara untuk mengurus sisanya. Sebagian besar pakaianku dikirimkan ke Jakarta melalui kurir, sehingga barang bawaanku tidaklah banyak.

Malam itu rencananya mas Revan mau menemui kedua orang tuaku secara langsung, namun saat dia kembali melihat penampilannya dia kembali tidak percaya diri sehingga memohon maaf padaku. Dia berkata bahwa akan menemui kedua orang tuaku keesokan harinya. percuma juga mau dibantah, toh dia nggak akan mau dengar penolakan atau bantahanku yang sudah terlontar hingga menimbulkan gurat syarah di sepanjang leherku. Jadilah aku mengantarnya hingga sampai ke pintu kamar hotelnya yang cukup mewah menurutku.

"Kamu nggak mau tidur disini aja?"

"Mas, kamu kayanya masih jetlag ya. Sudah istirahat sana."

"Maunya sama kamu."

"Jangan stress. Aku masih punya rumah, ngapain tidur di hotel?"

"Bilang aja cari suasana baru. Sekalian nemenin suami."

"Suami gundulmu. Udah ah, tidur sana, aku pesankan makan malam biar diantar ke kamar."

"Makasih ya sayang."

"Nggak usah panggil aku sayangn. Aku bukan pacarmu."

"Iya, istri masa depanku."

Beginilah kami, entah sejak kapan tapi yang aku tahu kami dekat dan semuanya berjalan apa adanya. Semua berjalan terlalu cepat menurutku, ibarat sungai aku adalah dedaunan kecil yang terseret ombak hingga hilir. Jarak hotel mas Revan ke rumahku cukuplah dekat, ditempuh dalam jangka waktu sepuluh menit jika menggunakan kendaraan bermotor, maklum rumahku masih termasuk kawasan tengah kota yang padat dengan gedung pencakar langit. Arlojiku masih dengan santainya menunjuk angka tujuh saat kakimu telah melangkah masuk ke dalam pintu depan rumahku.

"Akhirnya kamu datang." Kata Mama saat menyambutku dengan wajah sumringah dan penuh rasa bahagia. Sejujurnya aku tidak paham alasan dibalik wajahnya yang sangat bersinar. Apa beliau sedang dapat arisan? Tapi tidak mungkin arisan hanya dihadiri segelintir orang. Kakiku lemah berjalan menuju ke tempat duduk terdekat, pasalnya pandangan mataku mengarah ke wajah seorang pria yang amat kukenal, tapi enggan untuk aku percaya bahwa dia ada disini.

"Ma, mereka siapa?" tanyaku dengan keengganan dan takut bahwa firasatku mendekati kebenaran.

"Sini duduk dulu." jawab Mamaku menenangkan. Kemudian beliau mengelus sayang suraiku yang bergelombang memanjang dibalik turban yang sehari-hari aku kenakan.

"Kamu pasti sudah kenal sama Ragan kan? Hari ini mereka datang buat melamar kamu." Aku menatap nanar saat Mama selesai dengan kalimatnya. Penuh pertanyaan berkecamuk dalam hatiku, ada banyak pertimbangan tentang hubungan tidak sehat ini, bahkan aku ragu apakah Mama sudah tahu masalah Tiara? Lalu bagaimana dengan mas Revan yang sedang menunggu esok pagi untuk kemari. Aku yakin dengan tujuannya berkunjung ke rumahku adalah untuk menghalalkan hubungan kami tanpa perlu bertele-tele.

"Lantas apa jawaban Mama?"

"Papa sama Mama merestui hubungan kalian." Sahut papaku. Keplaku terasa berdenyut hebat, mataku tak sanggup untuk membuka, bagaimana dengan hatiku? Masih utuhkah setelah hari ini?

"Maaf semua. Tapi saya sebaiknya undur diri dulu. silahkan pebicaraannya dilanjut."

--

Keesokan paginya, aku bangun dengan nyeri yang cukup kuat menghantam kepalaku. Semalam bagaikan batu besar yang terperangkap dalam plafond rumahku jatuh menimpa tepat diatas kepala. Lukanya tak kasat mata, tapi nyerinya... duh luar biasa. Sambil beberaa kali berusaha mengumpulkan nyawa yang berceceran entah dimana. Semalam rupanya tanpa sadar aku tertidur masih lengkap dengan pakaian terakhir, tanpa menggosok gigi, tanpa membasuh make up. Sepertinya semalam sudah terjadi tsunami sehingga diriku enggan berpindah dari kamar.

Setelah membersihkan diri, aku segera membuka ponselku dan mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari mas Revan dan sebuah pesan singkat yang menanyakan waktu yang tepat untuk kunjungan pertamanya. Dengan mengambil seribu langkah, aku mencari mama dan papaku yang sepertinya masih berkumpul di dapur belakang.

"Ma, siang ini ndak sibuk kan?"

"Kenapa? Kamu mau keluar sama Ragan?"

"Bukan. Teman aku mau kesini."

"Terus kaitannya sama mama apa?"

"Dia mau ketemu sama mama dan papa."

"Kamu aja yang temui dia. Cukup kan? Lagian sepenting apa sih dia? Mending kamu mulai bahas persiapan pernikahan sama Ragan."

"Please ma, dia udah jauh-jauh dari Medan mau ketemu ama mama dan papa."

"Dia cowok ya?"

"Iya. Masa perempuan. Lagian kenapa kalau cowok?"

"Masalah dong. Kan kamu udah dipinang sama keluarga Ragan, masa mau ketemu sama cowok lain."

"Mama sama Papa ketemu dia dulu. terus kasih tahu pendapat kalian mengenai dia. Namanya Revan, dia dari keluarga baik-baik, dia juga..."

"Enough. Dia gak perlu ke rumah. Mama sudah tahu maksudnya. Jawaban Mama tetap, dia gak perlu bertemu sama mama dan papa. Karena hubungan kamu sama Ragan sudah akan dihalalkan."

"Kenapa sih mama selalu ndak mau dengarkan permintaan aku? Yang nikah itu Banyu, bukan mama."

"Jangan bantah omongan mama kamu. Semua itu benar, kami orang tua berusaha agar kamu tidak terjerumus dengan orang-orang yang salah."

"Memang mas Revan masuk dalam kategori orang-orang yang salah? Terus mas Ragan itu selalu benar. Harusnya mama dan papa tahu, mas Ragan bisa saja ndak sebaik yang kita perkirakan."

"Terserah. Kamu pokoknya harus tetap stay di rumah, papa nggak akan kasih ijin kamu keluar. Kalau teman kamu, Revan mau ketemu, papa yang akan hadapi dia."

"Jadi papa mau ketemu sama mas Revan?"

"Iya. Ketemu untuk menjelaskan bahwa kamu sudah jadi pinangan orang lain dan sebaiknya dia mundur."

Mendengar keteguhan kedua orang tuaku, tentunya aku sudah tidak punya nyali. Aku kembali dalam kamar tanpa membawa sepiring pun makanan untuk mengisi perutku. Perut kosongku yang semula berbunyi berubah diam. Kembali ku mendaratkan pantatku ke tepian ranjang sambil menatap ke jendela yang menampilkan area luar rumahku.

Sebuah panggilan telepon masuk, nama mas Revan tertera disitu.

Panggilan pertama ...

Panggilan kedua ...

Panggilan ketiga ... akhirnya kuangkat.

"Halo mas?"

"Kamu posisi dimana? Jam berapa aku bisa ke rumah?"

"Aku di rumah. Tapi..."

"Aku jalan kesana ya? Biar nggak terlalu siang."

"Kamu ndak perlu ke rumahku,mas."

"Kenapa? Orang tuamu lagi sibuk ya?"

"Ndak. Tapi mereka ndak mau kamu datang."

"Apa alasannya? Ketemu aja belum."

Aku mulai terisak dengan meneteskan bulir-bulir bening yang kian deras. Aku tidak sanggup melanjutkan jawabannya, sekalipun alasan itu telah kuketahui dan siap meluncur dari ujung lidahku.

Karena orang tua ku sudah menerima pingangan orang lain, mas.

--

Sanggup kah Banyu mengatakan sejujurnya kepada Revan kondisinya sekarang?

Tanpa Kata (COMPLETE-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang