tanpa judul 18

2.5K 115 0
                                    

Mulmed : Mbak NIta

--

"Duh, yang nikah nggak undang-undang kita."

"Maaf ya mbak. Buru-buru soalnya."

"Wah, udah nggak tahan ya?"

"Ih, apaan sih mbak."

"Wah, masih malu-malu nih. Jadi nggak ikut suami?"

"Maunya gitu, tapi kemarin pak Direksi keberatan, jadi ya..."

"Tapi serius lho, aku ndak sangka kamu sama pak Revan. Padahal kamu kan dekatnya ama pak Ragan."

OK Fix, nama tersebut mencuat kembali di permukaan. Dekat bukan berarti menikah kan? Itu sugesti dan jawaban paling ampuh yang bisa kugunakan saat ini. Bersyukurlah bahwa dahulu, aku tidak begitu ingin unjuk gigi terkait hubunganku dengan mas Ragan. Seandainya mereka tahu apa yang terjadi, mungkin cerita ini layak naik film di teater.

"Ya, mungkin mas Ragan sama Tiara."

"Oh, ya tentang pak Ragan, udah tahu belum beliau dipindah ke Palembang."

"Aku baru dengar juga, sejak kapan mbak?"

"Sejak sebulan yang lalu, kurang lebih ya."

Wow... amazing. Kenapa? Karena sebulan yang lalu means tanggal pernikahan kami dilangsungkan, honestly aku nggak bisa menangkap benang merah antara dia meninggalkan pernikahan kami melalui secarik kertas dengan kepindahannya ke Palembang. Tapi masa bodoh, karena aku sudah menggap dia adalah cerita masa lalu dan tidak perlu dibahas. Karena mas Ragan, bukan hanya mengahancurkan hati kedua orang tuaku, tapi juga merenggut nyawa papaku.

Ironisnya, mas Revan yang dulu disambut dengan hinaan dan amarah di rumahku, malah datang sebagai penyelamat disaat yang tak disangka-sangka, bolehlah dianggap sebagai TAKDIR, who knows? Sedangkan mas Ragan yang telah dengan persiapan matang, meminangku, membuatku merasa jatuh cinta padanya, ya meskipun hingga saat ini rasa itu masih tersisa dan berbekas menjadi tidak peduli, dia menjadi seorang yang tidak bertanggung jawab atas komitmennya. See? Papa,semoga beliau meninggal dalam damai setelah tahu bahwa putri tunggalnya telah selamat martabat serta haraga dirinya oleh seorang pria yang pernah beliau sia-siakan.

"Tapi mbak...hmm... kenapa pindahnya kok bisa bersamaan sama Tiara ya? Apa mereka balikan?" imbuh mbak Nita.

Petir di siang bolong membuatku sangat terpukul dan sebuah serangan mulai terasa di kepala bagian depan. Kian lama sakitnya makin kuat, hingga akhirnya kusandarkan sedikit tubuhku di meja cafetaria.

"Kamu tahu darimana mbak?"

"Aku kan waktu itu bantu HRD sementara, karena si Tiara itu pindah. Kepala bagiannya sendiri lho mbak yang minta buat aku cetakkan surat keterangan mobilisasinya." Aku menundukkan kepala menahan segala rasa sakit yang mendera.

"Udah mbak, mungkin jodohmu adalah pak Revan. Dan menurutku dia lebih baik dari pak Ragan." Seandainya mbak Nita tahu apa yang sudah mas Ragan lakukan terhadapku, entah bagaimana mulutnya akan berkhotbah, batinku.

"Aku sudah ikhlas mbak, dengan siapapun pilihannya juga bukan urusanku."

"Memang dulu mbak betul pernah dekat? Lalu sudah sejauh mana?"

"Nggak kemana-mana. Stuck disini aja. Justru mas Revan yang memberikan aku jawaban sekaligus komitmen untuk menuju pelaminan."

"Ah. Sudahlah mbak. Memang kok kalau pembahasannya nggak jauh dari Tiara pasti suasananya jadi kelam. Mbak, kapan-kapan aku boleh mampir rumah?"

"Boleh. Menginap pun ayo."

"Nanti saya ganggu pengantin baru."

"Nggak kok. Di rumah Cuma ada asisten dan satpam, mas Revan juga udah balik ke Medan."

"Kok mbak nggak diboyong kesana?"

"Nikah dengan pegawai dalam satu perusahaan aja sudah salah, apalagi kalau kami satu proyek. Makin jadi bahan pembicaraan orang."

"Jadi mbak kerja sekarang itu atas dasar keberatannya pak Direksi aja?"

"Yep. Tapi kalau aku sudah hamil, pengunduran diriku dinyatakan aktif."

"Dasar, dirimu memang kesayangan boss."

"Iya... dulu juga yang pertama kali kenalkan aku sama mas Revan juga pak Direksi."

"Ya sudah. Besok malam aku menginap ya. Mau dimasakkan apa dari rumah?"

"Terserah aja mbak, apapun pasti aku makan."

"Wah, senang kalau macam ini. Ndak pilih-pilih makannya."

--

Tanpa Kata (COMPLETE-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang