"Malu karena Ragan ninggalin kamu?" Kegiatan memotong bawang pun terhenti, waktu seolah tak berdetak, hanya degupan jantung Banyu yang kian membahana mewarnai kesunyian diantara mereka hingga akhirnya isakan penuh penyesalan itu pecah diantara jarak dan waktu yang memisahkan mereka.
--
Untuk kali pertama sejak perkenalan mereka di ruangan direksi hingga hari ini, tidak sekalipun mereka pernah lebih intim dari sekarang. Revan sesekali membelai surai hitam yang kini telah lebih panjang dari terakhir kali mereka bersua, mengusap punggung Banyu.
"Menangislah, jika itu melegakan perasaanmu." Belum puas mereka bermesraan dengan waktu, masuklah seorang wanita yang amat mengagetkan keduanya.
"Ya Ampun. Revan, kamu buat apa sampai Banyu nangis?" tanya BU David sembari menarik pucuk telinga putra sulungnya tersebut.
FLASHBACK ON
Ragan berjalan penuh semangat menuju kediaman calon istrinya. Menurut adat seharusnya mereka dipisahkan karena pernikahan mereka kurang satu bulan lagi, sehingga mereka seharusnya dalam masa pingitan. Dia berjalan tanpa beban seolah hari ini hingga seterusnya ada dalam genggamannya. Sambil sesekali ia mengecek ponselnya yang terus bergetar sedari lima menit sebelumnya.
"...."
"Iya, aku lagi jalan."
"...."
"Tentu. Ini yang terakhir kok. Lagian satu bulan itu cukup."
"...."
"Cukup juga kok. Lagipun semuanya tinggal telepon sudah beres."
"...."
"Iya. Kamu sabar ya sayang, sebentar lagi aku sampai kok."
Panggilan pun terputus. Ragan pun sampai di depan pintu utama keluarga Banyu, keluarga yang telah menerinya dengan tangan terbuka sebagai menantu dan meminang putri tunggal mereka. Saat ketukan pintu yang ketiga, akhirnya tampak seorang wanita paruh baya yang selama ini dikenal sebagai asisten rumah tangga di keluarga tersebut selama puluhan tahun.
"Den Ragan. Mau cari siapa?"
"Banyu ada mbok?"
"Semua pada keluar. Apa mau tunggu didalam?"
"Ya udah mbok."
"Den Ragan apa sudah konfirmasi kalau mau mampir?"
"Belum sih mbok, tadi buru-buru soalnya. Dari jam berapa perginya?"
"Sudah dari setelah jam makan siang, den. Jadi mau minum apa?"
"Biasa aja, Mbok. Kopi hitam."
"Tunggu ya, den."
Setelah puas menunggu hingga beberapa kali Ragan mengubah posisi duduknya, hingga menghabiskan waktunya untuk menunggu calon istri dan mertua kesayangan, akhirnya iya putuskan untuk menulis sebuah pesan singkat di selembar kertas putih yang tergeletak di meja sudut ruang tamu. Entah apa yang terlintas di benaknya kala itu, tapi dia menuliskan sebuah kalimat yang relatif pendek untuk dianggap sebagai pesan. Lalu dia membubuhkan tanda tangannya di bawah pesan tersebut.
Kertas yang telah berisi pesan tersebut dilipat menjadi empat bagian, kemudian diletakkannya dibawah piring cawan yang telah dingin kopinya. Tanpa mengucap salam maupun tutur kata yang sepantasnya, akhirnya dia pun berjalan menuju pintu utama rumah, menutupnya, dan langsung pergi tanpa menoleh ke belakang.
Tepat pukul lima sore, sebelum adzan berkumandang, tampaklah segerombolan orang berjalan membawakan beberapa pernak-pernik yang telah tersusun rapi dan indah. Bungkusan tersebut berwarna biru Prussie dan dihiasi dengan pita berwarna putih gading keemasan berbahan sutra. Beberapa diantaranya berisikan seperangkat perawatan kecantikan wanita dari ujung kepala hingga kaki. Kemudian beberapa baris orang di belakang juga membawa tiga koper besar berwarna putih dengan hiasan garis berwarna biru yang menambahkan kesan elegan.
Rupanya serombongan tersebut adalah kerabat keluarga Ragan yang mulai memindahkan seserahan mahar untuk persiapan pernikahan yang waktunya tingga menghitung hari saja. Sedangkan pada barisan terdepan tampaklah segelintir keluarga besar yang tengah berbahagia. Mereka terus berbincang-bincang penuh keanggunan dan diselingi tawa renyah dari empu pemilik cerita. Tak bosan-bosannya Banyu dipuji oleh calon mertuanya, karena bagi kedua orang tua Ragan Banyu adalah sepaket lengkap seorang calon istri, siapa mampu menolak?
Setibanya di rumah, tawa mereka lenyap digantikan dengan pemberitahuan yang tak biasa dari asisten rumah tangga keluarga Banyu.
"Mas Ragan tadi kesini ada perlu apa? Bukannya dia harus ikut pertemuan dengan pihak legal?" tanya Banyu kepada asistennya tersebut. Karena sudah puluhan tahun mengabdi, Banyu percaya bahwa hampir tidak mungkin wanita tersebut berbohong.
"Punten, den. Tapi den Ragan datang secara tergesa-gesa, bahkan perginya pun tanpa pamit."
"Masa iya?"
"Iya, BU. Setelah saya bereskan cangkir bekas minum den Ragan, saya lihat ada lipatan kertas dibawahnya. Mungkin untuk den Banyu."
"Wah, masih mau nikah sebulan lagi, romantis terus nih Ragan. Apa nggak bisa dia tahan sebulan lagi?" sahut salah satu kerabat yang mengundang tawa.
"Ya sudah. Tolong barang-barangnya dimasukkan ke lantai dua. Terus balik ke mobil semua. Perjalanan masih jauh, semua harus tetep sehat sampai hari-H acara." Kalimat mamaku sungguh berusaha menentramkan seluruh pihak yang semula tercengang dengan tingkah aneh Ragan hari itu.
Bersamaan dengan berlalu-lalangnya kerabat yang membantu, Mama mengambil secarik kertas yang masih rapi dalam lipatan dari tangan Banyu. Mungkin inilah yang disebut sebagai firasat, entah baik atau buruk bahkan Mama Banyu pun enggan memikirkannya, tapi tetap saja jemari wanita tersebut yang telah diselimuti keriput halus juga tak segera menyudahi rasa penasaran yang kental menyelimuti suasana di ruang keluarga.
Kini, dengan segala ribuan penasaran serta tanda tanya, kertas tersebut berjalan bergilir menunggu siapa yang bersedia membuka, ibarat jackpot yang enggan dibuka tapi sayang untuk ditolak. Akhirnya setelah habis sudah kesabaran dalam hati Ayah Banyu, pria tersebut menarik secari kertas tersebut dengan gerakan tergesa dan gusar.
FLASHBACK OFF
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Kata (COMPLETE-END)
RomansHal terakhir yang pernah kuingat adalah dia pergi untuk kembali bersatu dengan masa lalunya. Tinggallah aku dengan masa-masa yang terlewati tanpa seberkas memori apapun tentang dirinya. Aku tidak pernah benar-benar mengingatnya, tapi satu hal yan...