Aku tahu, huh? Nama yang sangat aneh.
Aku bukan salju. Aku bukan es. Aku bukan apa pun, aku hanya berada di sini karena tak ada pilihan yang dapat kubuat. Aku berada di sini berlawanan dengan kehendak diriku, kehendak jiwaku, kehendak nyawaku.
Tunggu, seharusnya aku bahkan tidak punya nyawa lagi. Sekarang pun aku tidak punya tubuhku lagi.
Sejujurnya, aku hanya ingin pulang, jauh dari segala kegilaan ini. Tapi apa yang bisa kulakukan? Ini hidupku sekarang.
Dan apa gunanya pun, jika aku kembali saat ini?
Semua keluarga, seluruh temanku, sudah menjalani kehidupan mereka selama ini. Mungkin mereka telah menguburkan tubuh manusiaku. Kembali hanya akan menghancurkan mereka. Aku juga hanya dapat menjalani kehidupanku yang sekarang, entah akan jadi seperti apa...
"Ice! Cepat kemari!"
Aku mendengar suara Willow, dan dengan sangat terpaksa, aku harus bangkit dari permenungan pagiku yang selalu tidak penting.
Willow, yang tertua di antara kami, selalu membuatku melakukan segala hal remeh temeh. Mungkin karena aku adalah yang anggota terbaru di sini. Atau mungkin karena anggota lainnya adalah adiknya sendiri, dan hanya akulah satu-satunya yang cukup dia benci untuk bisa diperintah-perintah.
Entahlah, aku tidak akan pernah bisa memahami jalan pikirannya.
"Ice!"
"Ya, segera datang, Kakak!" Aku mengucapkannya dengan nada sesarkastik mungkin.
Aku tidak pernah suka dia menyuruhku memanggilnya seperti itu. Dia ingin dihormati, tapi aku tidak mau menghormatinya. Dia tidak berhak mendapatkan rasa hormatku. Dia bahkan tidak mencoba mendapatkannya.
Baginya, aku hanya budak untuk disuruh-suruh. Dulunya kami musuh, dan ini adalah caranya untuk menghukumku. Untuk menyiksa dan membuatku menderita.
Dia bahkan tidak bisa membiarkanku mati.
Ah, aku sudah mengecap kematian. Hanya sesaat, memang, dan menyakitkan, tentunya, tapi kelegaan atas rasa sakit itu adalah hal terbaik yang kurasakan kala itu. Sayangnya, perasaan itu harus direnggut oleh Willow, karena peri sialan itu mengembalikanku pada kondisi kesakitan yang seharusnya menyebabkan kematianku.
Ya, dia adalah peri es, dan dia membuatku jadi sepertinya.
Aku tidak boleh berlama-lama. Pekerjaannya semakin berat jika aku menunda-nunda menanggapi panggilannya.
Aku keluar dari ruanganku, bergegas ke ruang depan. 'Ruang-ruang' yang kusebut ini bukanlah ruangan dalam sebuah rumah yang biasa kau bayangkan. Alih-alih, ruang ini berdinding batu, dan bersekat es.
Itulah yang terjadi jika kau hidup di rumah para peri es.
Aku bergerak keluar, melewati mulut gua yang lebar, dan kudapati Willow berdiri tegak di depan gua. Matanya tidak menatap kemunculanku, jadi aku yang berbicara.
"Ada apa, Kakak?" Masih kuucapkan itu dengan nada yang dimanis-maniskan. Penuh kesengajaan. Aku tidak pernah kapok dalam menunjukkan ketidaksukaanku di hadapannya.
"Ada kerusuhan di bawah sana. Para ogre hutan itu berulah lagi, kurasa." Dia mengucapkannya dengan nada datar, menatap ke bawah sana.
"Kau ingin aku mengatasinya?" kataku, menebak dengan bosan.
Willow mengangguk kecil, sebelum tanpa aba-aba kembali masuk ke dalam gua.
Aku menghela napas kesal. Selalu, selalu seperti ini. Dia selalu seperti itu, menyuruh-nyuruhku tanpa berpikir. Ini sudah kesekian kalinya dia ingin aku yang mengusir para ogre menyebalkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...