ICE
Danau itu bukan sesuatu yang spesial, sebenarnya. Jaraknya kira-kira lima belas menit dari pegunungan, melewati hutan yang lebat. Syukurlah ini adalah perjalanan yang pendek, karena aku lihat wajah Dane sudah sangat pucat.
Aku menunggangi gobre dengan Lionel di belakangku. Air mukanya terlihat lebih baik sekarang, mungkin karena obat-obatan Hloda. "Kau merasa baik-baik saja?"
Lionel mengangguk dengan ringisan kecil. "Ya, aku merasa lebih baik sekarang."
"Itu bagus," Aku berkomentar.
Kami berjalan beriringan melewati hutan itu. Dane dibawa oleh adiknya Lavki dan Lon di gobre yang paling kuat, sementara Delaide dan Pythia menunggang gobre yang lainnya sendiri. Varnaz pergi lebih dulu dengan kekuatan teleportasi api-nya yang menakjubkan itu.
Tidak lama kemudian, kami tiba di danau itu. Bentuknya seperti sebuah... danau, tentu saja, dan seperti kataku sebelumnya, tidak tampak spesial sama sekali. Tapi Varnaz mengatakan ada mata air kehidupan dari sana, yang sejujurnya agak tidak masuk akal karena kami ada di dunia iblis. Bukankah kegelapan identik dengan kematian? Aku tidak berani mengatakannya keras-keras, tentu saja.
Meski begitu, Varnaz sepertinya tahu pikiran kami. Dia hanya mengangkat bahu. "Hei, kami juga hidup dengan energi kehidupan. Tersentuh kegelapan bukan berarti mati. Tidakkah kalian ingat kisah Therian si Raksasa?"
Therian si Raksasa. Dulu sekali, ada sesosok raksasa bernama Therian. Dia hidup di masa dimana Kegelapan sedang melawan Terang dengan membuat semua makhluk Eldemore saling berkelahi. Terang terpaksa memerintahkan Kematian agar orang-orang tidak dapat mati kecuali karena usia tua, supaya tidak ada yang dapat merasakan kepuasan dari pertikaian. Tapi ini membuat Therian sangat sedih, karena seluruh keluarganya telah mati akibat usia tua. Dia hidup begitu lama hingga rasanya hidup sudah tak berarti lagi baginya. Sayangnya, dia tidak bisa mati hingga usianya mencapai ambang batas. Dan batas itu masih sangat, sangat jauh.
Jadi semakin sedihlah dia.
Kegelapan melihat ini sebagai kesempatan untuk akhirnya mengontrol Eldemore. Jadi Kegelapan berbisik pada Therian lewat angin yang berhembus—Therian bisa saja mati jika dia menyerahkan jiwanya pada Kegelapan. Biarkan Kegelapan menggerogoti jiwanya, jadi dia tidak perlu mengikuti aturan Kematian.
Terang tidak menyangka bahwa salah satu makhluk di Eldemore yang sudah dilindunginya sejak dulu setuju dengan mudahnya.
Tapi tidak ada kematian untuk Therian. Kegelapan menjadikkannya budak, serupa iblis, mengontrolnya untuk membunuh seisi desanya. Lalu para monster. Para binatang, dan semua tumbuh-tumbuhan. Semua yang mati di tangan Therian menjadi budak Kegelapan—karena Kegelapan menyentuh mereka, aturan Kematian menjadi sia-sia. Kekacauan terjadi lagi.
Jadi kurasa, benar juga, para iblis sesungguhnya masih hidup. Mungkin bukan tipe hidup yang bisa dibayangkan manusia, tapi mereka masih ada dan bergerak. Ini membuatku berpikir ulang mengenai kondisiku sendiri...
Adik-adik Dane membawanya ke dekat danau dan meminumkan airnya pada Dane. Setelahnya, air mukanya terlihat lebih baik, dan syukurlah karena hal itu. Kalau tidak semua ini akan jadi tak berguna.
Kami semua setuju untuk berkemah di sini untuk semalam dan berangkat besok pagi. Kami harus memastikan Dane sudah lebih baik, juga pemulihan beberapa dari kami terluka akibat perkelahian tadi. Syukurlah aku tidak terluka parah, hanya lecet sedikit di sana sini.
Tapi Lionel bersikeras agar aku diobati. Aku tidak bisa menolak wajahnya yang memohon-mohon itu.
"Baiklah," Aku menghela napas. "Aku akan mengobati ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...