LIONEL
Aku menatap punggung gadis yang berjalan di depanku dengan sakit hati yang semakin meningkat.
Aku tidak sakit hati padanya, karena aku sama sekali tidak menyalahkannya. Aku tahu ini juga bukan hidup yang dipilihnya. Aku sakit hati untuknya.
Benar, pertemananku dengan gadis ini dulu cukup singkat, tidak mencapai setengah bulan, tapi kami menghadapi banyak hambatan bersama-sama. Dia bahkan mengorbankan dirinya agar aku bisa pulang kembali bersama dengan obat bagi ratu kerajaan kami. Tubuhnya mengeluarkan energi aneh waktu itu—energi yang agak pekat, kurasa—hingga tiga peri yang mengejar kami langsung tergeletak tak sadarkan diri. Sayangnya, Ice juga kehilangan kesadarannya, dan hanya sempat memperolehnya kembali sejenak sewaktu aku telah membawanya di kaki gunung.
Tak kusangka jiwanya masih terjebak di sini. Katakan aku egois, tapi sesungguhnya aku sangat gembira saat melihatnya lagi. Aku tahu dia sudah mati, aku menyaksikannya sendiri. Aku tahu dia berkali-kali menyatakan hal itu agar aku menerimanya. Walau begitu, bagiku dia masih hidup. Dia berdiri di depanku, nyata, bukan fatamorgana, dan aku sangat bersyukur atas hal itu.
Ice di depanku tiba-tiba berhenti berjalan, membuatku nyaris menabraknya. Kami berada di Hutan Tivermont yang sangat gelap, jadi bukan tidak mungkin aku tersandung. Untungnya aku tidak jatuh.
"Ada apa?" tanyaku heran.
Ice menarik lenganku mendekat. "Lihat itu," bisiknya.
Aku menatap ke depan kami. Di kejauhan, terdapat semacam cahaya kebiruan, tapi apa yang mungkin ada di dalam hutan seperti ini? Aku mengernyitkan dahi. Jaylen Efrain, pemimpin Asosiasi tingkat Kerajaan Forewood, sempat mengajariku mengenai keadaan dunia iblis dari peta seratus tahun yang lalu. Dia mengatakan sekilas bahwa hutan ini dipenuhi dengan trik dan tipuan.
Dari mana cahaya itu berasal? Apakah ini jebakan?
Aku tidak tahu, tapi aku tidak menyukai kemungkinan jebakan itu sedikit pun. Maka aku balas menarik lengan Ice dan menahannya agar tidak melangkah lebih jauh. "Melangkahlah perlahan. Kita harus hati-hati."
"Aku tahu," katanya agak sebal. "Aku tidak bodoh. Mengapa kau kira aku berhenti?"
Aku merapatkan bibirku sejenak. "Tidak boleh kah aku mengkhawatirkanmu?"
Ice menatapku dan menghela napasnya. "Aku sudah mati."
Aku meringis. Dia mengingatkanku lagi akan hal itu. "Aku tidak berpikir begitu."
"Pikiran yang tidak bijak."
"Katakan padaku, apa itu 'hidup'?" Aku bertanya padanya. "Kau masih bisa berpikir dan bergerak sesuai kehendakmu. Kau hidup."
"Pikiran yang salah," dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin berdebat denganmu, Lio. Kita lebih baik bergerak cepat."
Aku mengangkat alis saat mendengar nama panggilan yang dikeluarkannya. "Lio?"
"Apa, kau tidak suka?" Dia melirik sekali sebelum memutar tubuhnya dengan senyum kecil di wajahnya.
Aku terkekeh, mengikuti langkahnya.
Kami bergerak menuju cahaya-cahaya itu. Seolah tahu kami mendekat, mereka berkelap-kelip. Harus kuakui, ini lumayan indah.
Cahaya-cahaya itu tampak lebih jelas saat kami mendekat. Asalnya dari semacam hewan kecil bercahaya, seperti kunang-kunang, tapi warnanya biru. Hampir menakjubkan, kalau saja mereka tidak menyerang kami.
Yap, makhluk-makhluk mungil itu menyerang kami. Mereka menyengat tajam dengan kejam, membuatku meloncat terkejut. Insting pertamaku adalah untuk kabur dan aku telat menarik lengan kanan Ice agar berlari, tapi dia tetap berdiri tegak tanpa ingin bergerak. Aku merasa dia semakin kuat sejak 'kematian'-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...