LIONEL
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, berusaha menghilangkan debu yang hendak masuk ke mataku. Rekan-rekan seperjalananku mulai terbatuk-batuk karenanya, tapi beruntung tidak ada debu yang masuk ke saluran pernapasanku.
Tapi butuh beberapa menit bagiku untuk dapat melihat dengan jelas. Di sekitarku ada Dane, Lon, dan juga si gadis oracle, Pythia. Mataku tidak dapat menangkap keberadaan Ice dan hatiku langsung panik.
...Aku sudah melihatnya mati sekali. Aku tidak ingin membiarkannya menghilang lagi.
Dengan pemikiran itu, aku bangkit berdiri, tapi benar-benar tidak ada siapa pun lagi selain kami berempat.
Kami berada di sebuah ruang kosong di dalam gua, dengan lantai dan langit-langit yang bersih dari stalaktit maupun stalakmit. Satu-satunya tanda bahwa kami masih berada di gua yang sama adalah tekstur bebatuan kasar di sekeliling kami. Aku memandang sekeliling, tapi masih tidak menemukan dari mana kami masuk.
Kami terjatuh, bukan? Seharusnya dari atas. Tapi tidak ada bolongan apa-apa di langit-langit gua, sepenuhnya mulus. Ke mana yang lain?
"Ohoho, makan malamku kali ini termasuk manusia?" Terdengar suara aneh, seperti suara seseorang yang terus bergerak tanpa bisa diam. Aku membayangkan pemilik suara itu adalah pria tua gemuk dengan senyum aneh di wajahnya, tapi ternyata aku salah.
Pemilik suara itu adalah seonggok lendir hijau yang mempunyai wajah.
Melihatnya saja aku sudah merasa ingin muntah.
"Grup yang menarik..." Onggokan lendir itu seolah mengangguk-angguk sambil mengelus jenggot. Tentu saja, dia tidak punya kepala maupun jenggot, jadi aku tidak tahu mengapa aku mendapat gambaran itu. Cara lendir itu menggeser tubuhnya di atas tanah sudah seperti ular yang menjalar.
Aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa tepatnya makhluk ini, tapi berkebalikan dariku, aku bisa mendengar seseorang terkesiap dari sebelahku.
"Aku hanya pernah mendengar sekilas... Kau—Hloda?"
Kami semua menoleh ke arah Lon yang tiba-tiba berkata-kata seperti itu. Anak yang tampak seperti masih pra-remaja itu terlihat nyaris kegirangan sekaligus ketakutan. Selama ini impresiku padanya adalah anak tenang yang bermulut tajam, jadi melihatnya seperti itu agak aneh rasanya. Eh—mungkin tidak cocok untukku memanggilnya 'anak'. Sebagai iblis, dia sudah hidup berkali-kali lipat lebih lama dariku.
Onggokan lendir itu menatap Lon ingin tahu. "Ya, aku Hloda. Dari mana kau tahu aku, half-blood?"
"Kau salah satu alchemist-nya Banemask, bukan?"
Hloda terdiam selama beberapa detik, lalu tertawa terbahak-bahak. "Cerdas sekali! Dan bagaimana kau mengetahuinya, nak?"
Lon mengangkat bahu. "Aku tahu saja. Tidak banyak iblis lendir yang bisa menggunakan alat-alat itu." Matanya mengarah pada sebuah meja berisikan tabung-tabung alkemi.
Hloda menyipitkan matanya. "Jawaban yang menyebalkan, tapi aku akan membiarkannya." Hloda bergeser menjauh dari kami ke sudut gua. "Tapi kau salah," katanya membelakangi kami. "Aku tidak lagi bekerja untuk Banemask si Monster."
Lon terdiam. Dane juga terdiam. Sepertinya hanya mereka yang aslinya tinggal di dunia ini yang bisa mengerti percakapan yang sedang terjadi, karena aku tidak memahami apa-apa. Seharusnya aku mendengarkan lebih tekun lagi sewaktu Jaylen Efrain menjelaskan. Yah, setidaknya aku tahu siapa Banemask si Monster.
Dahulu, Kegelapan menyentuh salah satu penduduk Eldemore dan menciptakan iblis pertama, yaitu Therian si Raksasa, yang nyaris berhasil dalam usahanya dalam menguasai bumi Eldemore. Pahlawan zaman dahulu untungnya sukses mengalahkan Therian, tapi tangan kanan Therian, Banemask si Monster, berhasil lolos. Seisi Eldemore menduga Banemask akan kembali untuk membalas dendam, tapi tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegahnya, karena masuk ke dunia iblis bukanlah hal mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...