ICE
Ketika aku membuka mata, di depanku terdapat pemandangan yang janggal. Lionel, Dane, Lon, dan Pythia bersandar di seberangku, pada dinding gua, dengan sesosok aneh di depan Pythia. Sosok itu berbentuk seperti manusia ikan dengan sisik-sisiknya, terus-terusan mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan 'kalian adalah kelompok kecil yang menyedihkan.'
Aku juga dapat melihat bahwa Lionel sudah terkulai tanpa kesadaran, dan itu membuatku panik. Varnaz di sebelahku mengerutkan dahinya melihatku—kurasa tidak setuju karena sudah mengikuti dia ke sini dalam kondisi seperti ini, tapi entah mengapa sekarang aku tidak merasa selemah sebelumnya. Seolah-olah efek samping yang memperlemah di dalam kekuatan es-ku itu sudah dibakar dengan api dari iblis ini. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Tapi aku merasa baik-baik saja.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menyadari bahwa di sebelah kami terdapat lendir aneh dengan mata dan mulut. Napasku tertahan, tapi Varnaz justru memberi anggukan menyapa pada si lendir. "Hloda, apa yang terjadi?" tanya Varnaz pada lendir itu.
Oh, namanya Hloda. Lendir ini punya nama?! Aku berusaha agar tidak menatapnya, takut menyinggung.
"Muridku ternyata mata-mata Banemask," gumam Hloda lebih pelan lagi.
Varnaz menarik napas tajam. Untungnya, kami terletak cukup jauh dari dinding di mana Lionel dan lainnya berada, sehingga sosok aneh itu tidak mendengar kami. Banemask... Bukankah dia yang tadi disebut-sebut dalam percakapan Varnaz dan Delaide? Si iblis monster pemimpin seluruh iblis itu?
"Aku tidak mengerti bagaimana kau melakukannya, oracle." Sosok aneh bersisik itu berkata pada Pythia. "Tidakkah membuatmu jadi gila, mengetahui apa yang ada di masa depan?"
Pythia tidak menjawab. Gadis itu hanya menunduk seolah tanpa tenaga.
"Hmph," Si sosok aneh mencemooh dan tubuhnya hendak berbalik.
Tapi dengan secepat kilat, Pythia berdiri dan mencengkeram kerah sosok itu. "Apa yang kau maksud dengan reinkarnasi?" tanyanya dengan nada geram.
Si sosok terdiam sesaat, lalu tertawa terbahak-bahak.
Aku memahami apa yang sedang Pythia lakukan. Dia berusaha untuk membuat si sosok tidak menyadari bahwa kami ada di belakang punggungnya. Kulirik Varnaz di sebelahku yang kelihatan sedikit... marah. "Kau dimata-matai tanpa kau sadari? Jadi Banemask sudah tahu keberadaan kita sejak dulu?!" Varnaz berbisik penuh nada seru.
"Aku juga tidak tahu," Si lendir mendesis balik. "Dan sepertinya kekuatan iblis laut ini jauh lebih besar dari pada kita."
"Sialan," maki Varnaz, masih dengan suara pelan. Mungkin tanpa bersuara rendah pun, suaranya tidak akan terdengar. Pasalnya 'iblis laut' yang disebut-sebut itu memiliki suara yang amat keras.
Selesai tertawa, sosok iblis laut itu melepas tangan Pythia dari kerahnya. "Kau tidak tahu apa itu reinkarnasi? Barangkali kau oracle terbodoh." Dia lalu mendekatkan wajahnya pada Pythia dan mendesis, "kau terlahir kembali, berulang-ulang. Mati, lalu kau memulai hidup baru sebagai orang lain." Dia mencibir. "Sayang sekali jiwa oracle itu kuat. Kalau tidak, sudah kuhancurkan jiwamu."
Sementara si iblis laut melanjutkan omongannya soal apa yang seharusnya dia lakukan, Varnaz dan Hloda berdiskusi mengenai apa yang harus mereka lakukan sekarang untuk menyelamatkan nyawa, ini kutipan langsung, 'orang-orang ini'.
Ketika mereka selesai berdiskusi, rupanya mereka memutuskan bahwa aku harus menyingkir dari sini dan membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Aku menggeleng tegas. "Aku punya kekuatan seorang peri. Akan sia-sia kalau aku hanya diam mengamati," kataku dengan suara rendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...