BANEMASK duduk di singgasananya, merasa kesepian dan terkekang.
Rasanya makin sepi sekali belakangan ini. Bukannya ia tidak tahu apa tujuan yang ingin ia capai, tapi sudah ribuan tahun berlalu, dan waktu menggerus tekadnya, membuatnya lelah. Tapi sudah dekat. Sebentar lagi ia akan bebas. Sebentar lagi ia akan berhasil membalas dendam master-nya melawan manusia-manusia menyedihkan itu.
Sebentar lagi, Therian si Raksasa akan bangkit kembali.
Tapi waktu tunggu itu menyiksanya. Banemask separuh berharap ia tidak harus melakukan semua ini. Ia hanya ingin semuanya selesai. Entah iblis, manusia, atau makhluk lainnya, semua hanya ingin kebebasan. Tapi tugas ini membebaninya, tugas yang diberikan Master padanya sebelum kematiannya.
Banemask menghela napas lagi, bermain-main dengan cambuk di tangannya. Ekspresinya datar sebagian besar waktu. Ia tahu semua pelayan di Kuil-nya takut padanya. Semua menuruti perinahnya, tapi dalam hati, mereka ketakutan. Betapa ia berharap para jagoannya segera kembali. Si iblis api dan si alkemis, bahkan si jalang. Mereka menantangnya, kekuasaannya. Tapi hanya mereka yang tidak takut padanya, tidak sepenuhnya.
Master-nya akan melihat ini sebagai kelemahan, bahwa Banemask tidak menghancurkan mereka secara langsung, malah justru membebaskan mereka. Tapi sejujurnya, ia merasa ia sudah mulai gila. Makhluk-makhluk yang menantangnya ini memberinya suatu tujuan. Secarik kewarasan.
Sayangnya, semua itu menjadi bumerang baginya, hari ini.
Banemask mengangkat wajahnya ke arah mereka dengan senyum. "Kalian semua akhirnya sadar dan kembali juga?"
Varnaz si iblis api mendengus. Dia memang selalu penuh kemarahan, meski dari luar terlihat dingin. "Tidak akan, bahkan sampai aku mati, Banemask."
Ah, anak itu dulu memanggilnya Master. Tapi tidak bisa dipersalahkan—anak muda itu sedang bermain peran, bagaimana pun juga. "Yah, iblis tua ini bisa berharap, kan?" Banemask terkekeh. "Jadi apa yang kalian lakukan di sini?"
"Dia sedang pura-pura bodoh?" Si jalang melirik ketiga temannya. Baru kemudian Banemask menyadari bahwa dua orang lainnya, yang tadinya ia pikir hanyalah orang-orang sembarangan, ternyata adalah halfblood bersaudara yang terkenal.
"Ah, anak-anak Zelroth," Banemask melihat keduanya. Ini sepertinya dua yang tertua. "Suatu kebetulan. Sudah sekitar, hmm, beberapa dekade sejak aku mengeksekusi ayahmu?"
Ada jeda beberapa detik sebelum salah satunya bereaksi. "Apa kau bilang?" Yang lebih muda terlihat marah dan langsung ingin menyerangnya, tapi yang lebih tua menahannya. Bijak, yang itu. Untuk ukuran seorang halfblood.
"Ayahku tidak pernah bilang ke mana ia pergi," kata yang lebih tua, menatapnya. "Dan mungkin ia bisa ada di mana pun. Tapi aku sulit membayangkan dia mau terlibat dengan orang sepertimu, mati di tanganmu."
Banemask tertawa terbahak-bahak, yang mengejutkan mereka semua. "Benar. Zelroth tidak pernah membiarkan dirinya terhalang untuk menemukan kekasih manusianya." Banemask menautkan alisnya ke arah dua bersaudara itu. "Ya, ya. Manusia berbeda, istrinya, tapi selalu jiwa yang sama. Mungkin ia akhirnya bisa bertemu dengan ibumu dalam Void."
Ia melihat yang lebih tua sedang berpikir, dan Banemask tertawa sendiri. Zelroth, si tua bangka itu, sempat mencoba mencapai kesepakatan dengannya, mencoba membujuknya untuk membiarkannya menyeberang dunia lewat portal. Seolah ia tidak tahu saja apa yang Zelroth rencanakan. Tentu saja, begitu Zelroth sampai di dunia manusia, ia akan mencoba menyelamatkan dunia yang kekasih manusianya itu cintai. Jangan pernah mempercayai iblis yang punya hati manusia.
Ah, tapi anaknya yang lebih muda itu tampak rapuh. Penuh emosi, tapi berusaha keras mengekang dirinya sendiri, berbanding dengan kakaknya yang cukup bijak untuk menyembunyikan seluruh emosinya dengan baik. Terlalu baik. Banemask menyipitkan matanya. Yang lebih tua ini bisa menjadi gangguan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...