ICE
Aku merasa langsung mengigil begitu portal memuntahkan kami di puncak Gunung Beku.
Tapi sebelum aku bisa menyesuaikan diri dengan iklim yang mendadak berubah, aku sudah harus dihadapkan dengan Willow di depanku dan saudari-saudarinya yang sudah siap menunggu. Aku melompat ke belakang. "Wow, Kakak!" seruku, akibat kebiasaan.
Kurasa panggilan itu melunakkan hati Willow, karena dia menghela napasnya. "Cukup lama juga kau pergi, Ice."
Lionel di sebelahku sudah menghunuskan pedangnya, tapi seorang yang tidak kukenali tiba-tiba maju dan menghalangi senjata Lionel. Wanita ini tidak terlihat seperti seorang dari peri es, justru, menyebabkan aku mengerutkan dahiku kebingungan. Dengan kain biru melingkar di seluruh tubuhnya, rambut bergelombangnya yang juga berwarna biru muda, bahkan kulitnya juga seolah memiliki pigmen biru, wanita itu terlihat seperti personifikasi air yang mengalir alih-alih es yang dingin.
Willow, lagi-lagi, menghela napas, seolah membuka mulutnya saja melelahkan. "Perkenalkan, ini Nineve, salah satu elemental murni yang masih hidup hingga saat ini." Dia terdengar sangat tidak ingin memperkenalkan wanita ini.
Nineve tersenyum pada kami. "Para Elemental mengadakan aliansi dengan peri es Gunung Beku," kata-katanya terdengar lemah lembut bagai air.
"Untuk sementara," Elsie, si peri es termuda, menambahkan cepat-cepat.
Nineve menoleh ke arah Elsie dan tersenyum kecil sebelum kembali beralih pada aku dan Lionel. "Aliansi ini akhirnya didapatkan setelah sekian lama. Maafkan kami tidak dapat membantumu sebelumnya, Lionel Daynes." Lionel di sebelahku mengangguk kikuk. Oh, aku mengerti sekarang. Wanita ini benar-benar mengagumkan untuk bisa menaklukan Willow dan adik-adiknya. "Tentu saja, karena Sumpah Kuno Viryia Ulysess, tidak ada manusia lain yang bisa menginjakkan kaki di sini, dan aliansi ini hanya bisa memperoleh nyawamu, Lionel, jadi kita sebaiknya segera keluar dari area Gunung Beku."
Lionel baru saja ingin bergerak, sebelum menyadari bahwa Nineve tidak menyebutku. "Bagaimana dengan Ice?"
Aku menghela napas. Sudah kuduga tidak akan semudah itu.
"Ayo, Nak, kita berjalan lebih dulu," ucap Nineve, mendorong Lionel dengan kata-katanya.
"Tapi—"
"Pergilah, Lio," kataku.
Lionel mengerutkan dahi. "Kau berjanji padaku, Ice."
Benar, aku berjanji akan bertahan hidup. Tapi kurasa berargumen dengan makhluk supranatural mengenai sumpah kuno yang dulu terjadi bukan cara bertahan hidup yang benar. "Percayalah padaku."
Lionel menatapku sejenak. Tangannya meraih tanganku, meremasnya, sebelum menghela napas dan melepaskan pandangannya. "Baiklah," jawabnya, berjalan ke arah Nineve.
Mereka segera menghilang dari pandanganku, turun dari puncak gunung yang curam.
Aku menghela napas, lalu akhirnya menghadap ke arah Willow, mempersiapkan diri untuk hukuman, tapi peri es itu tidak bergerak. Dia justru menghela napas. "Salahku mentranformasi seorang manusia."
"Kami mengingatkanmu, Kak," Elsie berkata.
Willow menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. "Pergilah, Ice. Pelindung gunung ini sudah memperbolehkanmu lewat."
Aku melebarkan mataku. "Hah?"
Willow mengangkat bahu. "Tidak ada gunanya juga mempertahankan anggota yang tidak patuh," ucapnya.
"Tapi—bukankah aku sudah mati?" Aku mengerutkan dahiku. "Kau bilang sendiri. Jiwaku sudah pergi dan kau mengikatnya, di tubuh ini, di gunung ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...