Aku nyaris terjatuh dari tempatku duduk saat melihat Ice menuruni tangga bersama dengan adikku. "Kalian terlihat... wow."
Evelina terkikik. "Bagus, kan?" Adikku yang manis itu tersenyum lebar, berputar kecil untuk menunjukkan gaun barunya.
Aku memperhatikan gaun yang mereka berdua kenakan. Sang Ratu memberikan kedua gaun itu, dan harus kuakui, kedua gadis ini terlihat menawan.
Kale, adik Ice, yang berdiri di sebelahku, juga ikut menyertakan opininya. "Kalian terlihat keren," katanya sembari mengangguk.
Ice dan Kale berada di rumahku untuk bersiap-siap akan pesta malam ini. Karena kondisi kesehatan ibunya tidak memungkinkan untuk ikut, tadinya Ice juga berniat untuk tinggal di rumah, tapi ibunya memaksanya ikut. Terlebih lagi Kale terlihat sangat semangat untuk pesta ini dan sang Ratu sudah mengirimkan gaun untuknya. Aku agak khawatir dia tidak merasa bersenang-senang, tapi untunglah adikku cukup ahli dalam menceriahkan suasana.
"Kakak jadi beda," lanjut Kale. "Dari dulu aku tidak pernah lihat Kakak begini."
"Kak Ice kelihatan cantik kan?" Evelina nyengir lebar.
"Berkat Eve," Ice tertawa. "Evelina ini penuh talenta."
"Oya?" Aku mengangkat alis.
Evelina tersenyum malu-malu. "Aku belajar tata rias dari kakak temanku. Katanya berguna kalau ada pesta."
Aku tertawa. "Baiklah, ayo pergi," kataku.
Pesta malam ini diadakan di istana, merayakan perayaan tahunan terbesar, Winterfall, awal tahun yang baru. Semua orang di kerajaan bergembira. Untuk merayakannya, sang Ratu membuka istana dan mengadakan pesta bukan hanya untuk kaum bangsawan, tapi untuk semua kalangan.
Kami berempat naik ke kereta kuda milik keluargaku. Aku duduk di sebelah Kale dengan Evelina dan Ice di seberangku. Kale dengan semangat langsung berkata, "ini pesta pertama yang akan kuhadiri."
Aku tersenyum. "Ini pesta pertamamu juga, kan?" tanyaku pada Ice.
Ice mengangguk. "Ya. Pesta pertamamu?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Dulu aku pernah menghadiri pesta pernikahan Yang Mulia Ratu."
"Ah, benar juga." Ice menoleh ke arah Evelina. "Kau pernah, Eve?"
Evelina menggeleng. "Tidak, waktu itu aku tidak di Naveland. Sekolah."
Benar juga. Hanya karena libur musim dingin Evelina ada di ibukota sekarang. "Aku merasa kau terlalu muda untuk pesta, Eve," ucapku setengah menggerutu. Evelina masih sebelas tahun, masih muda, bahkan kalaupun dia mengerti tujuan pesta-pesta. Setidaknya itu pikiranku.
"Bahkan anak-anak kecil bisa datang ke pesta, Kak," Evelina mulai sebal. "Mereka paling usia berapa, paling lima tahun?" Dia menoleh ke arah Kale.
Kale mengangguk setuju, kemudian mengangkat bahunya. "Mungkin. Aku kan juga tidak pernah ke pesta."
Aku mencondongkan tubuh ke arah Kale. "Shh, dengarkan aku, dik, kau sebaiknya tidak cepat setuju dengan wanita. Mereka berubah pikiran lebih cepat dari angin bertiup," kataku, pura-pura berbisik. Tapi dari ekspresi geli Ice dan kemarahan Evelina, jelas mereka mendengar kata-kataku.
Kale mengangguk-angguk dan terkikik sendiri, sementara Evelina menendangku dari seberang. "Hei!"
Aku tertawa terbahak-bahak. Kami terus berbincang-bincang dan tak lama kemudian, kami tiba di depan istana.
Pesta sudah berlangsung selama beberapa saat. Setelah aku mulai bosan menghalau Evelina agar tidak berdansa dengan anak laki-laki manapun, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Meski pun tidak ada aturan tertulis, tapi secara tidak langsung para bangsawan memisahkan diri dari rakyat biasa. Aku menggelengkan kepala sambil menghela napas. Orang-orang yang ada di dalam ballroom semuanya memiliki darah biru, sementara rakyat lain berada di luar. Tidak adil, tapi kondisi itu bukanlah hal yang bisa diperbaiki dengan satu perintah saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...