6. Underground Dungeon

203 28 0
                                    

ICE

Aku dibawa ke ruangan kecil di balik ruang tamu Crowley, dengan ranjang kayu yang agaknya sering berderit setiap aku bergerak. Ini menyebabkan aku merasa terlalu tak aman dan menghalau kantukku.

Ada aura magis di sini, sihir peri yang hampir mirip dengan apa yang Willow pernah rapalkan ke arahku dulu. Bedanya, sihir ini terasa jauh lebih pekat—lebih gelap. Ruangan ini serasa penuh dengan asap kelam dan aku merasa sesak hingga kantuk perlahan melenyap.

Aku bangkit berdiri dari ranjang, tidak bisa tertidur. Kuraih ranselku dari lantai kayu. Kepalaku penuh dengan pemikiran dan aku terutama mengkhawatirkan nasib Lionel. Kemana dia dibawa? Mereka tidak mungkin tahu bahwa dia adalah manusia, bukan? Tapi aku tak yakin. Nenek tua tadi mengetahui bahwa Lionel adalah manusia.

Crowley terasa jauh lebih menyeramkan dari nenek tua itu.

Aku perlahan menyibakkan tirai daun yang menjadi pintu ruangan yang kutempati itu. Lorong di depanku kosong. Aku berjalan seringan mungkin dan memutuskan untuk mengelilingi tempat ini.

Rumah di atas pohon yang satu ini mungil. Selain ruang tamu superkecil dan ruangan yang barusan kutempati, terdapat dapur yang juga kecil dan satu ruangan agak besar di jantung rumah ini yang sepertinya adalah ruangan Crowley. Aku mengerutkan dahi. Di mana Lionel ditempatkan, kalau begitu?

Meski khawatir, aku menelan rasa cemas yang kurasakan. Aku tidak boleh gegabah, salah-salah aku justru membawa celaka bagi kami berdua. Dengan langkah yang semakin lama semakin pelan, aku berjalan ke arah kamar Crowley.

Pintunya terbuka, entah mengapa. Dan tidak ada siapa pun di dalamnya.

Kurasa kerutan di dahiku makin kompleks sekarang. Apa ruangan ini tidak ditempati? Selimut terlipat rapi di atas ranjang, tidak ada tanda-tanda makhluk hidup. Dengan hati-hati, aku berjalan masuk.

Ruangan biasa, tidak ada yang menarik. Aku baru saja hendak berbalik ketika mataku menangkap sebuah pintu trap kecil di lantai ruangan yang nyaris tidak kentara di lantai jalinan kayu itu.

Penuh kecurigaan, aku mendekati pintu itu dan berlutu di sampingnya. Mataku mengamatinya, dan setelah yakin tidak ada kunci yang akan menyebabkan bunyi berisik, aku menarik pintu itu ke atas.

Tidak terbuka, tentu saja. Tidak mungkin ada yang sebodoh itu menaruh pintu mencurigakan tanpa tambahan pengamanan. Tapi tidak ada kunci mekanis di sini. Dari bawah, sepertinya tidak mungkin juga.

Sihir.

Tentu saja. Sihir peri kuno. Ini sama seperti sihir yang Willow gunakan untuk pintu kamarku dulu, ketika dia menghukumku dengan isolasi selama satu bulan penuh. Aku nyaris gila di dalam ruangan itu sendirian, tentu saja, tapi Willow tidak peduli. Ketika aku frustrasi, aku akhirnya menggedor-gedor pintu kamar, dan tiba-tiba, kekuatan es-ku menjalar ke seluruh jiwa spiritual pintu itu, lalu memecahkannya.

Aku berhasil keluar dari kamarku, disambut Willow yang hampir marah. Tapi setelah itu dia memutuskan untuk menggunakanku untuk membunuh ogre.

Aku meringis. Aku tidak menyangka siksaan Willow akan berguna untukku di sini. Dengan teknik yang sama, aku menghancurkan kunci sihir pintu itu dan membukanya.

Ukuran lubang pintu itu kecil, tapi cukup bagi tubuhku untuk lewat. Ada tangga tali di bawah sana yang terlihat lumayan kuat. Perlahan, aku menurunkan tubuhku. Setelah menutup pintu di atasku—untuk jaga-jaga—aku menuruni tangga tali itu.

Setelah sampai di bawah, aku hanya dapat melihat kegelapan. Setelah beberapa menit membiasakan mataku, aku menyadari ada cahaya samar dari ujung lorong. Aku mengerjapkan mata dan memutuskan untuk mengikuti cahaya itu.

Journey to the PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang