ICE
Tanah yang kuinjak di kota ini masih sama merahnya dengan tanah kering di atas gunung.
Cahaya merah mulai menyinari, tanda bahwa matahari dimensi ini mulai terbit. Kami bermalam di sebuah gua yang letaknya agak dekat dengan kaki gunung, dan untung saja tidak menemui bahaya apa-apa. Kami baru berjalan sedikit sebelum menemukan tanda-tanda himpunan masyarakat.
Kondisi geografis di dunia ini berbeda dengan duniaku. Tidak ada hutan di sekitar sini, tidak seperti Forewood. Persis di kaki gunung, sudah terdapat rumah-rumah.
Anehnya, bentuk semua rumah itu kotak, tanpa atap miring di atasnya. Bahan dinding rumah itu sepertinya dari tanah liat yang sudah dikeringkan. Agak janggal melihatnya, sungguh berbeda jauh dengan yang biasa kulihat.
Lionel menarikku agak berada lebih dekat dengannya begitu memasuki kota. Tangannya mencengkram lenganku lemah dan berbisik, "Hati-hati."
Tidak ada satu pun orang yang kami lihat di sini. Kosong, seperti kota hantu. Kurasa istilah itu tidak jauh dari kebenarannya, karena penduduk kota ini memang bukan manusia, melainkan iblis.
Barangkali ini berkaitan dengan fenomena iblis gila yang dibicarakan Delaide. Semua iblis yang normal menjadi takut untuk keluar rumah dan hasilnya adalah kota yang kosong ini. Aku tidak akan terkejut jika memang itu alasannya. Bagaimana pun, sesuatu yang tidak biasa akan menakuti suatu kelompok, mau terdiri dari makhluk apa pun.
Lionel sudah meneteskan cairan kelabu yang diberikan Delaide ke dalam mulutnya, jadi kuharap iblis-iblis tidak akan mengincar kami sekarang.
Kami masuk ke dalam kota itu. Tulisan 'Shadowridge' berada di atas papan kayu yang terayun-ayun, nyaris tidak terbaca. Kepadatan rumah-rumah kotak itu semakin meningkat. Sungguh menarik. Entah manusia maupun iblis, semua memiliki kecenderungan untuk mengelompok.
Aku agak terkejut saat menemukan suatu tempat semacam pasar yang sepenuhnya kosong. "Benar-benar seperti kota hantu," gumamku pelan.
Lionel mengangguk setuju. "Agak mengerikan, hening seperti ini." Alisnya tiba-tiba bertaut. "Hei, lihat," katanya pelan sambil menyenggol lenganku.
Aku mengikuti arah tatapannya dan mengerutkan dahiku. Seorang wanita tua—ras iblis, kurasa, dilihat dari kulitnya yang sepenuhnya hitam gelap dan telinganya yang meruncing—sedang duduk di balik meja penuh barang jualan, menatap lurus ke arah depan. Agak menyeramkan, sesungguhnya. Terlebih, nenek itu adalah satu-satunya orang di jalanan. Tidak ada bilik lain yang berjualan.
Aku dan Lionel saling berpandangan sebelum akhirnya kami mendekat bersama-sama.
Berbagai jenis daging tertata di atas meja depan nenek tua itu, tapi semuanya berwarna kemerahan. Bau tajam darah tercium. Nenek tua itu mendongak saat kami mendekat, langsung menoleh menatap kami.
Ekspresinya tidak berubah bahkan setelah beliau melihat kami berdiri di depannya. "Tertarik membeli?"
Aku melirik Lionel dan pemuda itu juga melakukan yang sama denganku. "Ke mana semua orang?" tanyaku.
Wanita tua itu mengerutkan dahinya. "Bersembunyi, tentu saja. Takut pada iblis gila." Beliau mendengus pelan. "Bodoh."
Aku menatapnya tak mengerti. Apakah si nenek ini tidak takut pada iblis gila?
Wanita tua itu balik menatap kami. "Apa? Aku harus takut?" Beliau bersungut-sungut. "Kalian beruntung kalian bukan iblis. Belakangan kami mengalami kekacauan luar biasa."
Aku dan Lionel saling berpandangan penuh keterkejutan, nyaris tidak bisa berbicara. "A-apa..."
Si nenek memutar matanya. "Oh, ayolah. Kalian berekspetasi aku akan percaya kalian adalah iblis? Kau punya aroma peri," beliau menunjukku, "dan kau, ada aroma samar manusia darimu. Tapi aku tidak akan memakanmu, tenang saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...