ICE
Kota ini adalah perwujudan kota mati yang sesungguhnya. Rumah-rumah yang ada terbuat dari kayu lapuk, dengan banyak reruntuhan di mana-mana.
Matahari belum terbit—jika bukan cahaya dari liontin yang dikenakan Lionel dan bulan purnama di langit, aku tidak akan bisa melihat apa pun. Lentera sepanjang jalan menuju kota tidak menyala sama sekali.
Menurut Dane, kota ini terletak di sebelah barat Kota Shadowridge. Jika Shadowridge terletak paling dekat dengan gunung tempat portal kami berasal, maka setelah melewati Hutan Tivermont, kami akan tiba di kota terbesar di wilayah timur laut benua ini. Singkat kata, Bleakborne terletak di barat daya gunung berportal (aku tidak pernah tahu nama gunung itu—semua iblis menyebutnya dengan 'Atas').
Sebelum masuk ke kota itu, aku memaksa Lionel untuk mengkonsumsi ramuan yang diberikan Delaide pada kami kemarin. Ataukah itu dua hari yang lalu? Aku kehilangan sense of time di sini. Untungnya, Lionel kali ini, menurutiku. Dia bahkan mengambil beberapa tetes lebih banyak.
Dane melihat hal itu, tapi dia tidak berkomentar. Aku agak cemas dia akan mengomeli kami karena mengambil begitu banyak, tapi sepertinya bahaya di kota iblis tidak bisa kami remehkan.
Kami berjalan memasuki Kota Bleakborne dengan hati yang sama kelabunya. Sungguh, nama itu sangat pantas bagi kota ini. Bagaimana tidak? Bahkan langit di atasnya pun berwarna kelabu. Tidak ada satu iblis pun yang berada di luar. Kota ini membuatku merasa agak miris.
Kami menemukan sebuah penginapan tak jauh dari pinggir kota. Iblis yang berjaga di bagian depan itu bahkan tidak melihat kami dua kali. Dengan uang yang diberikan Delaide kemarin, kami menyewa satu kamar. Itu pun sudah membuat uang kami berkurang banyak.
Begitu tiba di kamar, Dane menghempaskan tubuhnya di atas matras. "Kenapa kalian kembali ke dunia ini?" Pertanyaan yang sama dengan yang pernah ditanyakan adiknya. Masuk akal. Orang-orang yang sudah berhasil pergi dari sini tidak akan mau kembali lagi.
Lionel memberikan alasan yang sama dengan yang diberikannya sebelumnya. "Kami mencari seseorang yang pergi ke sini beberapa bulan lalu—berniat mencarinya ke ibukota kalian."
Dane mengernyit. "Lalu untuk apa kalian masuk ke Hutan Tivermont?"
"Delaide dan saudara-saudaramu yang lain mengkhawatirkanmu, Dane," Aku menjawab pertanyaannya. "Dan setelah bantuan kalian beberapa tahun yang lalu, kami harus balas membantu kalian."
Dane terpaku mendengar hal itu sebelum menghela napas panjang. "Sudah berbulan-bulan aku pergi," katanya pelan. "Aku benar-benar harus kembali."
"Ide bagus," jawabku sebelum beralih pada Pythia. "Hei... Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau ada di sana?"
Pythia menatapku sejenak sebelum menghela napas. "Aku sudah berada di sana sejak usiaku sepuluh tahun."
"Mengapa?" tanya Lionel, mengernyit.
Pythia terdiam sejenak.
"Tentu saja, kami tidak memaksamu menjawab," sambungku cepat. Gadis malang itu sudah melewati begitu banyak siksaan.
Pythia menggelengkan kepalanya. "Aku seorang oracle yang bisa melihat masa depan. Setidaknya, itu yang dikatakan keluargaku sebelum iblis-iblis itu merenggutku dari mereka." Kebencian di suaranya sangat jelas.
"Tapi mengapa?" tanyaku.
Gadis itu terlihat enggan untuk mengatakannya. "Darahku berguna untuk menghindari kejadian yang mungkin akan mengarah pada kematianmu. Jika kau meminum darahku terus-terusan, kau akan jadi abadi—imortal. Itu gunaku bagi iblis-iblis itu."
Dane terpekur sendiri, merenungi kata-kata itu. Aku dan Lionel saling berpandangan. Kalau boleh dibilang, dia kelihatan bisa dipercaya. "Dari mana asalmu, Pythia?" tanyaku dengan alis bertaut.
"Aku lahir di Kerajaan Allana."
Aku dan Lionel saling melirik. "Maksudmu Neo Allana?"
Pythia balas menatap kami bingung. "Allana."
Aku bertukar pandang dengan Lionel lagi sebelum berdeham. "Uh... Allana sudah hancur sekitar seribu tahun yang lalu dan di puing-puingnya dibangun Kerajaan Neo Allana."
"Apa?" Pythia melebarkan matanya. "Tidak mungkin... Tidak selama itu. Mungkin beberapa puluh tahun, tapi aku tidak berpikir..."
Aku menatapnya kasihan. Dia tidak terlihat berbohong saat mengatakan hal itu. Mengapa waktu berjalan jauh lebih singkat bagi Pythia?
Pythia tiba-tiba mengutuk keras-keras. "Sial, aku tidak memikirkannya sebelumnya!"
"Apa?" Kami semua langsung menoleh ke arahnya.
"Mereka pasti mendirikan kubah abadi di sekitar sel-ku," katanya, matanya dipenuhi rasa jijik. "Setelah aku remaja, mungkin. Tidak merasakan waktu, tidak menua. Tanaman sempurna untuk dipanen."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk menghiburnya, dan kami hanya terdiam selama beberapa saat.
Akhirnya Lionel menghela napas. "Yah, apa pun itu, kita lebih baik beristirahat dulu," ucapnya. "Aku hanya sempat tidur beberapa saat semalam. Kau tidur, Ice. Kelihatannya kau tidak sempat memejamkan mata beberapa detik pun."
Aku mengangkat alisku. "Ide bagus," anggukku.
"Aku akan mencari makanan untuk kita," Dane bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu.
"Aku ikut," Pythia ikut berdiri.
Dane mengerutkan dahinya, lalu menggeleng. "Sebaiknya tidak. Kau masih manusia, akan sulit untuk mengelabui iblis."
"Aku punya ini," Lionel mengeluarkan botol kecil berisi cairan kelabu yang kami dapatkan kemarin. "Dari adikmu, Dane."
"Tidakkah lebih baik kau beristirahat?" Dane bertanya pada Pythia.
Pythia menggelengkan kepalanya. "Aku tidur hampir setiap saat di dalam sel penjaraku dulu, kau tahu. Yang baru kusadari selama seribu tahun lebih."
Dane menatap kami sebentar, lalu menghela napas. "Kurasa berada di sini pun sama saja tanpa ramuan itu. Baiklah."
Lionel menyerahkan botol itu pada Pythia. "Cukup beberapa tetes," ujarnya.
Pythia mengangguk dan meneteskan dua-tiga tetes ke mulutnya sebelum menyerahkan botol itu kembali ke Lionel. Aku menoleh ke arah Dane. "Tidakkah lebih baik kau juga meminumnya, Dane?" kataku sambil memberikannya beberapa koin.
Dane mengernyit. "Jangan. Lebih baik kita simpan saja. Hanya ada satu botol." Pemuda itu membuka pintu ruangan kami, menggesturkan pada Pythia untuk mengikutinya. Kuharap aura separuh iblis di dalam dirinya cukup untuk menghalau iblis-iblis lapar.
Aku dan Lionel berpandangan sejenak. "Kurasa Pythia jujur tentang semuanya itu," kataku, merasa senasib tentang siksaan yang kami sama-sama alami. Tentu saja, jika dia benar-benar berada di sini selama lebih dari seribu tahun, siksaan yang dialaminya pasti jauh lebih mengerikan. Tidak heran dia sangat membenci mereka yang memenjarakannya.
Lionel mengangkat bahu. "Mungkin," sahutnya. "Tapi jujur atau tidak, tidak ada hubungannya dengan kita. Dane akan kembali ke saudara-saudaranya dan Pythia bisa mengikutinya menuju portal yang ada di puncak."
Aku mengernyit. "Tapi Bunga Es sudah menghilang. Bukankah kita kemarin tidak melihatnya lagi? Kupikir kita harus memetiknya dulu sebelum bisa berpindah lewat portal."
Lionel menatapku sejenak. "Benar juga." Kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Entahlah apa rencana mereka, kita pikirkan nanti saja. Lebih baik kau tidur, Ice. Kau terlihat kelelahan."
Aku menangkap keseriusan di wajahnya dan menurut. "Kau juga, Lio," ucapku, lalu berbaring di salah satu ranjang yang ada.
Rasa letih yang sudah menumpuk dari kemarin menerjangku sekaligus—tidak butuh waktu lama bagiku untuk tertidur. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey to the Past
FantasyIce Snow, seperti bagaimana ia dipanggil sekarang, seharusnya sudah mati. Tubuhnya telah dikuburkan, keluarga dan teman-temannya telah meratapi kepergiannya, tapi kesadarannya masih ada, terjebak dalam keegoisan para peri es yang ingin menghukumnya...